Selasa, 16 Desember 2014

Seminar JW Marriot Hotel

Begitu memasuki lobby hotel JW Marriot yang sangat wah, saya langsung disambut petugas. Wuih udah kaya tamu vip aja batin saya. Para petugas yang menyapa dengan ramah mengingatkan saya waktu dulu pernah bekerja part time di Club Mediteranee Resort Bali. Setiap bertemu tamu, kita harus menyapa dengan senyum dan ramah.

Padahal, kedatangan saya ini bukan untuk menginap. Melainkan untuk menghadiri sebuah seminar tentang GIS.

Rabu, 10 Desember 2014

Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Hari ini, diselenggarakan seminar yang diadakan di Auditorium Gedung I FIB UI, atas kerjasama antara Departemen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan - Program Studi Sejarah.

Pembicara yan mengisi seminar hari ini berasal dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan, dan dosen Hubungan Internasional UI.

Rabu, 03 Desember 2014

Menolak Menyerah

Sekuat apa pun usaha, sebanyak apa pun doa, kalau Allah bilang NGGAK, ya NGGAK!!!

Tapi, saya menolak menyerah. Saya ga akan meninggalkan kebiasaan yang telah saya buat beberapa bulan ini: lari, solat, and keep the positivity in my mind.

And it's time to fight back against life.

Selasa, 25 November 2014

Penduduk Perbatasan

Saat ini, sedang heboh tentang manusia perahu yang ditahan di Kalimantan Timur. Penahanan ini pun dikaitkan dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2000-an lalu.

Lepas dari itu, sebenarnya banyak hal yg dihadapi oleh penduduk perbatasan, dalam hal ini saya ambil contoh penduduk di Pulau Liran, MBD seperti;
1) Kartu identitas
2) Ketersediaan Logistik (Makanan Kadaluwarsa)
3) Ketersediaan tenaga pengajar

Selasa, 18 November 2014

Counting Days

Time is paradoxal. Waktu kadang terasa berjalan sangat lamban. Tapi, di saat yg bersamaan waktu juga terasa berjalan begitu cepat. Ya, time is also relative.

Semiotika Gambar Jokowi Juru Masak

Hari ini, dihebohkan dengan halaman depan koran Australia menampilkan Jokowi sebagai juru masak.

Rabu, 12 November 2014

Cagar Alam Pulau Dua

Cagar alam ini berada di Provinsi Banten, tepatnya di Sawah Luhur, Banten Lama.
Cagar alam ini merupakan tempat persinggahan burung-burung yang sedang bermigrasi.

Senin, 10 November 2014

Bea dan Cukai

Selama ini saya tidak pernah tahu perbedaan antara bea dan cukai. Yang saya tahu, bea cukai itu satu kesatuan. Ternyata, bea dan cukai itu berbeda. Secara organisasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) di bawah pengawasan langsung Kementerian Keuangan. Bersama dengan beberapa dirjen lainnya, termasuk juga inspektorat dan badan-badan lain yang ada di Kementerian Keuangan.

Apa sih perbedaannya?
Secara umum, perbedaan keduanya terletak dari sisi penerimaan. Bea merupakan sebuah penerimaan dari luar negeri, seperti bea masuk (impor) dan bea keluar (ekspor). Sedangkan cukai merupakan penerimaan negara dari dalam negeri, seperti cukai hasil tembakau (rokok, cerutu, dll), etil alkohol, dan minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA).

Ya, itu lah sedikit gambaran mengenai perbedaan antara bea dan cukai :)

Sabtu, 08 November 2014

Pagelaran Wayang Orang di Taman Ismail Marzuki

Pada Jumat malam kemarin, 07 November 2014, saya mendapatkan kesempatan nonton pertunjukan wayang orang, for the first time in my life, secara langsung di Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini – Jakarta Pusat. Beberapa hari yang lalu saya diberi tahu teman saya sewaktu kuliah dulu kalau ada pertunjukan wayang orang di TIM, and it was for free that I would not miss the chance. So here’s the recap.
Pertunjukan yang diselenggarakan oleh DInas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta ini mengambil tajuk “Pagelaran Ramayana Betawi: Rama Jadi Raja”. Dari judulnya saja sudah dapat diketahui kalau pagelaran ini mengambil ceritra Ramayana tetapi dikemas dengan gaya Betawi.
Untuk dapat menyaksikan acara ini, terlebih dahulu harus registrasi melalui SMS/Whatsapp beberapa hari sebelumnya untuk mendapatkan tiket. Dan pada hari H, diwajibkan untuk registrasi ulang. Saya pun pesan 2 tiket. Pada hari H pukul 17:30 sore, saya datang ke TIM untuk registrasi ulang. Eh, nama saya tidak ada dalam list panitia di meja registrasi (padahal dari sms sudah dikonfirmasi oleh panitia). Ternyata bukan saya saja, hampir sebagian besar penonton namanya tidak tercantum. Beruntung ternyata bisa registrasi di tempat (tau gitu saya bawa orang se RT aja). Setelah mendapatkan 2 tiket, saya pun registrasi ulang di meja lain (hanya tulis nama dan tanda-tangan) dan mendapatkan Buku Program (buku panduan pertunjukan berisi tentang susunan acara, sinopsis, scene & daftar pemain, dll). Tidak berapa lama, para penonton sudah bisa masuk ke lobby Gedung Teater Jakarta. Di rundown disebut bahwa ada Gala Dinner dari pukul 18:00 – 19:00. Wah, lumayan makan gratis. Walaupun disebut gala dinner, tapi menu makanannya sangat nusantara, terutama dari Betawi. Ada bir pletok (this is my first time as well drinking this kind of ‘booze’), kerak telor, toge goreng, siomay, laksa, soto ayam, pempek, bakwan malang, mie ayam, sate, dll. Saya cobain semua satu-satu sampai begah. Acara sendiri baru dimulai pukul 19:00 – 21:00. Lagi berdiri, eh disamperin sama cowok item gede tinggi, terus dia bilang kurang lebih “hello, are you from UI? (dalam hati, lah kok tau? Stalker jangan-jangan) or from Hindu community or something? Because I think I’ve ever seen you before.” Terus saya jawab aja dari UI. “Or maybe you’re déjà vu” Terus saya berusaha mengingat kapan pernah ketemu orang ini, karena emang mukanya agak familiar. Terus saya bilang “I remember you. I’ve seen you in Margonda Residence, Depok. You live there, right?.” Terus dia jawab “Ah yup, Mares satu.” Ternyata bener dia satu apartemen sama saya. Pantes aja mukanya familiar. Waktu itu saya pernah liat dia di lobby apartemen. Terus ngobrol-ngobrol ternyata dia dari Sudan. Dan dia bilang dia vegetarian ga bisa makan daging. Pas minum bir pletok, dia bilang “this bir pletok is too strong for me”. Lah terus makan apaan bang? -.- Ga kerasa, acara sudah mau dimulai dan penonton sudah bisa masuk ke dalam ruang Teater Besar. Pisah dengan abang-abang Sudan tadi karena dia termasuk undangan VIP, perwakilan dari berbagai negara sahabat yang diundang secara khusus, yang duduknya di tengah dengan view ke panggung yang oke punya.
Acara sedikit ngaret, jam 19:30 acara baru dimulai dengan sambutan dari Wali Kota Jakarta Pusat. Setelah itu lampu teater dimatikan dan menyisakan lampu panggung saja yang masih menyala pertanda acara inti segera dimulai. Cerita dibuka dengan cukup membuat saya takjub dengan penampilan para pemain yang memegang wayang kulit berukuran besar sebagai properti cerita di panggung. Namun, setelahnya pertunjukan ini menurut saya sangat sederhana. Tidak ada latar yang merepresentasikan tempat berlangsungnya kejadian. Kalau tidak ada guide book yang dikasih oleh panitia, I definitely had no idea what was going on on the stage. Belum lagi terganggu oleh sinar layar handphone penonton yang mengambil gambar pertunjukan. Belum lagi ada yang pakai lampu flash di tengah kegelapan. Gubrakkkk. Padahal panitia sudah menghimbau kepada para penonton untuk tidak mengambil gambar ketika pertunjukan sedang berlangsung. Bukan tanpa sebab, karena hal tersebut memang SANGAT mengganggu penonton lain yang ingin serius menikmati pertunjukan. Kemudian ada pula penonton yang mengobrol di belakang. Haduh, penonton di Indonesia memang wajib di-briefing secara serius dulu sebelum menonton.
Sampai adegan Shinta diculik, menurut saya pertunjukan ini biasa aja. Tidak berbeda dengan wayang orang dari Jawa yang sering saya liat di TV. Tidak ada ciri-ciri Betawinya sama sekali. Panggungnya pun minim properti (tapi terselamatkan oleh kostum  yang dipakai para pemain). Kemudian ada pula adegan lucu para kijang-kijang (sayang properti tanduk dan topeng yang ada di atas kepala beberapa kali lepas. Tapi ini terselamatkan oleh kepiawaian para pemain yang langsung mengambil properti yang terlepas tersebut dengan sangat cerdik). Setelah Shinta diculik, baru muncul trigger yang mampu membuat saya berdecak kagum. Hanoman yang bisa terbang ke sana kemari (menggunakan sling tentunya). Dan menurut saya sang sutradara sangat pintar dalam menyajikan pertunjukan ini. sepertinya ia memang sengaja membuat pertunjukan sesederhana mungkin di awal, sehingga ketika menuju akhir cerita, penonton dapat merasakan klimaksnya. Gaya Betawi muncul ketika adegan klimaks pertempuran antara Rama dan Rahwana. Sebelum bertempur, Rama dan Rahwana saling melempar pantun, ditambah tingkah para monyet yang lucu, yang membuat suasana dalam ruang teater menjadi riuh oleh tawa penonton. Hingga akhirnya terjadi lah pertempuran yang sangat kolosal. Rama akhirnya memenangkan pertarungan. Sebelum adegan Rama diangkat menjadi Raja Ayodya, diselingi oleh pertunjukan dari Cepot, yang mengenakan baju Pitung, Dawala dan Istri Dawala yang menggunakan kostum kebaya Betawi. Pertunjukan dari ketiganya mampu membuat penonton terpingkal-pingkal, walaupun guyonan yang dibawakan sangat ‘dewasa’. Pukul 21:20, Rama akhirnya diangkat menjadi raja dan menandakan berakhirnya Pagelaran Wayang Orang Betawi.
Dengan segala kesederhanaannya, sesuai dengan yang disampaikan oleh MC ketika membuka acara, tapi saya sangat terhibur oleh akting para pemain, terutama ketika adegan-adegan menuju klimaks. Bravo!!!


Kamis, 06 November 2014

Rectoverso - Cinta Platonis

“Kisah aku, kisah aku tentang seorang sahabat aku yang lahir  di negeri orang. Dia hidup dalam keluarga yang sangat sederhana. Setiap kali ibunya harus menyediakan ayam sebagai lauk, ibunya mesti pergi ke pasar untuk membeli ayam. Tapi cuma bagian punggungnya saja. Cuma itu yang mampu ia beli. Akhirnya sahabat aku itu pun tumbuh dewasa dengan hanya mengetahui kalau ayam itu hanya punya bagian punggung. Dia ga pernah tahu ada dada, paha atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi dia mengenai ayam.
Kalau aku, aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya sanggup aku gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang hanya sanggup aku nikmati bayangannya. Tapi tak akan pernah bisa aku miliki. Seseorang yang hadir bagaikan bintang jatuh. Sekelebat lalu menghilang begitu saja. Tanpa sanggup tangan ini mengejar. Seseorang yang hanya bisa aku kirimi isyarat sehalus udara langit awan atau hujan. Tapi sekarang justru menurut aku sahabat aku itu orang yang paling bahagia. Dia bisa begitu menikmati punggung ayam karena cuma itu yang dia tahu. Sedangkan aku, aku justru orang yang paling bersedih karena aku tahu apa yang ga akan pernah bisa aku miliki.
Aku sudah tahu warna matanya. Cokelat muda. Dan itu lebih dari cukup” – Alya, Hanya Isyarat, Rectoverso (01:15:10)
Rectoverso: Cinta yang Tak Terucap, merupakan sebuah film Indonesia yang diadaptasi dari sebuah noverl dengan judul yang sama karya Dewi “Dee” Lestari (she’s one of my favorite female authors since I was in high school, beside Djenar Maesa Ayu and Oka Rusmini). Dalam film tersebut terdapat lima cerita yang ditulis dan disutradarai oleh lima orang berbeda (omnibus). Hanya Isyarat – Happy Salma, Curhat Buat Sahabat – Olga Lidya, Cicak di Dinding – Cathy Saron , Firasat – Rachel Maryam, dan Malaikat Juga Tahu – Marcella Zalianty. Seperti judulnya, film ini menggambarkan cinta yang dipendam kepada seseorang. Namun, yang paling saya suka dan ingin saya bahas di sini adalah Hanya Isyarat yang diperankan oleh Amanda Soekasah sebagai Alya, Hamish Daud sebagai Raga, dan Fauzi Baadilla sebagai Tano, serta Rangga Djoned sebagai bayu, dan Dali yang diperankan oleh Prianggadi Adityatama . Cerita ini disutradarai oleh Happy Salma dengan mengambil latar di pantai (place I love the most). Cerita ini menurut saya satu-satunya cinta platonis yang paling murni dibandingkan empat cerita lainnya. Apa itu cinta platonis? Apa bedanya dengan cinta biasa? Itu lah yang akan saya bahas pada postingan kali ini.
Setiap manusia pasti pernah merasakan jatuh cinta. Ya, cinta merupakan salah satu anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Namun, pernahkah anda mengalami yang namanya cinta diam-diam? Cinta yang hanya mampu anda pendam sendiri. Walau terkadang sakit, tapi terkadang anda menikmatinya. Ya cinta ini disebut juga dengan cinta platonis.
Sepenggal dialog dalam film Rectoverso di atas menggambarkan apa yang sering disebut dengan cinta platonis.
Kalau merujuk ke kamus, kata platonis (platonic) mempunyai beberapa arti, salah duanya adalah:
Platonic (ajd):
  • Of or associated with the Greek philosopher Plato or his ideas.
  • Confined to words, theories, or ideals, and not leading to practical action.
Kata platonis sendiri mengacu pada sebuah konsep yang pertama kali dicetuskan oleh seorang  filsuf Yunani kuno, Plato. Maybe that’s the reason why it’s called Plato-nic. Konsep ini sendiri merupakan pandangan atau gagasan Plato mengenai dunia idea, sebuah dunia ideal yang hanya ada di dalam pikiran kita saja. Karena pada kenyataannya, tidak ada satu hal pun di dunia realitas ini yang sempurna atau ideal.
Bagi Plato, cinta tak seharusnya diucapkan. Ketika hal tersebut diwujudkan ke dalam dunia realitas, maka hal tersebut bukan lagi cinta sejati yang murni dan suci. Bagi Plato, cinta dalam diam adalah prinsip utama sebuah cinta suci. Kalau diungkapkan, itu bukan cinta lagi, namun hanya sebuah hasrat.
Lalu apa bedanya dengan cinta ‘biasa’?
Cinta menurut Sigmun Freud, pakar psikologi analitik dari Jerman, menyatakan bahwa cinta merupakan suatu alat untuk memenuhi kebutuhan seksual. Sedangkan menurut Erich Fromm, seorang Neo-Freudian, yang mengatakan  bahwa cinta adalah suatu kebutuhan dasar manusia untuk keluar dari kesepian dan kesendirian.
Hal ini tentu berbeda dengan cinta platonis. Cinta platonis memendam sendiri perasaannya tanpa diketahui orang lain. Cinta platonis ini, kalau bisa dibilang, lebih banyak sedihnya dibandingkan dengan bahagianya. Ya, namanya juga cinta dipendam.
Ada banyak alasan mengapa seseorang bisa mengalami yang namanya cinta platonis ini. Alasan yang paling utama adalah karena takut. Takut ketika diungkapkan, hasilnya tidak sesuai harapan. Karena cinta yang selalu dibayangkan itu adalah sesuatu hal yang ideal, walaupun kadang menyakitkan karena hanya bisa membayangkan untuk bersama orang yang dicintai tersebut tanpa ada yang tahu.
Nah kembali lagi ke Rectoverso. Mengapa saya berani bilang kalau cerita Hanya Isyarat merupakan yang paling platonis menurut teori cinta platonis yang telah dijelaskan di atas (untuk lebih jelasnya, anda harus menonton sendiri)
Penulis sendiri pernah merasakan cinta platonis ini. and I think everybody does,at least once in their life. 


Kamis, 30 Oktober 2014

Isu agama

Masih mengenai isu-isu agama yang sering menjadi bulan-bulanan oknum tertentu, terutama di media sosial (karena beraninya memang cuma di situ).
Akhir-akhir ini sering sekali melihat tautan-tautan atau postingan-postingan di media sosial, yang entah beritanya mengenai apa, tapi ujung-ujungnya malah nyinyir dan menyindiri (atau bahkan terang-terangan) mengenai agama-agama tertentu, dalam hal ini diakui atau tidak, yang sering dinyinyirin adalah agama Islam.
Partai ini korupsi, anggotanya menonton video tak senonoh, padahal katanya menjunjung tinggi nilai islam. Bapak ini korupsi, padahal dari partai islam. Si ibu itu korupsi, padahal pakai jilbab.
Orang-orang picik nan nyinyir kaya gini ini sekarang  sangat banyak. Orang-orang yang berpikiran sempit yang selalu mengaitkan suatu hal, dalam hal ini hal-hal buruk, ke suatu agama tertentu.
Orang-orang picik ini lupa, bukan agama yang salah. Memang tak bisa dipungkiri ada banyak oknum-oknum yang selalu menyelewengkan nilai-nilai agama, namun sekali lagi, bukan agamanya yang salah.
Apakah benar bahwa tindakan korupsi, tindak asusila dan tindakan buruk lainnya identic dengan agama tertentu?
Orang-orang picik ini lupa, hanya melihat lingkup yang kecil. 
Ga usah jauh-jauh, di ujung timur negeri ini, daerah yang selalu tertinggal, ada kucuran dana untuk membangun daerah (walau sedikit dananya), tapi diselewengkan. Dana sedikit, dikorupsi pula. Habis sudah. Oknum yang melakukan agamanya apa?
Orang-orang picik, berpikiran sempit nan nyiyir ini lupa, di Filipina, pernah terjadi tindak korupsi besar-besaran dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Presiden Ferdinand Marcos yang berkuasa sejak tahun 1965 - 1986, itu agamanya apa?
Atau yang dilakukan oleh Slobodan Milosevic, dari Yugoslavia yang berkuasa sejak 1997 – 2000, yang tidak hanya melakukan tindak pidana korupsi, tetapi juga didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas keterlibatannya dalam kejahatan perang seperti Genosida dan kejahatan kemanusiaan lainnya dalam perang di Bosnia, Kroasia, dan Kosovo. Agama Slobodan Milosevic apa? Islam kah?
Atau tindakan pembunuhan dan pengusiran terhadap etnis Rohingya di Myanmar yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar, agama apa yang mereka anut?
Orang-orang picik nan nyinyir ini lupa, yang menyebabkan seseorang korupsi itu bukan agama, tapi memang tabiat pribadi oknum tersebut yang memang doyan menafkahi anak, istri dan keluarga dengan uang haram.
Orang-orang picik, berpikiran sempit nan nyinyir ini lupa, bahwa di Eropa zaman dahulu, terjadi penyalahgunaan wewenang gereja oleh oknum-oknum rohaniwan, yang mengakibatkan munculnya gerakan protes terhadap kaum gereja (dalam hal ini Katholik), sehingga muncul Protestan. Apakah penyalahgunaan tersebut disebabkan oleh salah agama?
Orang-orang picik, berpikiran sempit nan nyinyir ini lupa, bahwa yang salah bukan agama, tapi oknum-oknum yang melakukan penyelewengan terhadap agama.
Di India sana, yang mayoritas beragama hindu, yang melakukan pembunuhan, pemerkosaan biadab terhadap perempuan, bahkan turis asing, adalah orang-orang India yang beragama Hindu. Apakah orang-orang lantas menyalahkan agama Hindu? Tidak.
Orang-orang picik, berpikiran sempit nan nyinyir ini lupa, bahwa hal tersebut konsekuensi dari suatu hal yang menjadi mayoritas. Ketika mayoritas di suatu negara beragama islam, maka yang banyak melakukan penyelewengan pasti yang beragama islam. Pun ketika suatu negara dengan mayoritas beragama Kristen, pasti yang banyak melakukan penyelewengan  adalah orang-orang dari agama Kristen. Begitu pula dengan agama lainnya, Hindu, Budha, bahkan Atheis sekalipun. Di sini terlihat jelas bahwa yang salah adalah oknum yang menyelewengkan agama, bukan agama itu sendiri.

Masih banyak lagi contoh-contoh lain.

Oh Ibu Susi

Ibu Susi, Sang Menteri “kontroversial”
Dari kemaren juga bingung sih, yang dikritisi ‘kan merokoknya Bu Susi di depan publik (dan tatonya), bukan masalah agama Bu Susi. Tapi yg jadi bahan perbandingan ujung-ujungnya nyerempet ke masalah agama (malah cenderung memojokkan dan menjelekkan salah satu agama, as always, dengan menggunakan oknum-oknum tertentu). Apa ini bukan SARA namanya? Coba kalau yang dijadikan bahan perbandingan (bahkan dijelek-jelekkan) adalah agama lain, pasti bakal jadi heboh karena isu SARA. Jadi ada 2 standard suatu hal bisa menjadi SARA atau tidak di sini.

Jad inget sebuah “joke” di Barat sana. Ketika oran-orang2 melakukan lelucon terhadap orang-orang kulit hitam, pasti dibilang rasis. Tapi ketika orang-orang bikin lelucon tentang orang kulit putih, ya hal tsb dianggap sebagai lelucon murni. Ada perbedaan (double standard) mengenai rasis di sini. Yang seharusnya memakai standard yang sama.

Saya suka Bu Susi. Bahkan jauh sebelum beliau diangkat jadi menteri. Bahkan sebelum beliau terkenal dengan “aksi sosial” beliau melalui Susi Air, perusahaan penerbangan yang beliau rintis untuk mengjangkau daerah-daerah terpencil. Saya ingat, waktu saya SD atau mungkin awal SMP sekitar tahun 2002/2003, sebuah acara di tv swasta meliput profil Bu Susi sebagai pengusaha di bidang perikanan yang sukses. Jatuh bangun beliau dalam merintis usahanya dari nol sampai bisa sesukses saat itu. Sosok beliau yang seorang wanita, seorang ibu yang pekerja keras, membuat saya mengagumi sosok Bu Susi.

Saya kagum dengan beliau. Walau hanya lulusan SMP, tapi bisa sesukses sekarang (bahkan sangat sukses). Bayangkan kalau Bu Susi adalah seorang yang berpendidikan tinggi dengan berbagai gelar akademik disandang? Bisa-bisa jadi presiden.

Kembali ke topik yang membuat heboh publik tanah air, terutama di media sosial akhir-akhir ini (timeline fb menjadi arena “pertarungan” antara yang pro dan kontra Bu Susi, tapi yang paling menjijikkan bagi saya adalah orang-orang  yang akhirnya berujung pada menjelek-jelekkan agama. Untung teman-teman di Path saya adem ayem ga ada yg bahas masalah beginian). Urusan merokok (atau bahkan bertato, kawin cerai, atau apa lah itu) adalah urusan Bu Susi (dan menjadi tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan Tuhannya). Akan tetapi, ketika ia melakukan hal tersebut di depan publik, tentu hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Di negara-negara Barat yang super bebas pun tidak membenarkan seorang pejabat publik merokok di depan umum, apalagi sampai terliput oleh kamera pewarta. Apalagi beliau adalah seorang menteri yang seharusnya menjadi panutan.
Mungkin, kalau Bu Susi yang sedang merokok tidak tertangkap kamera wartawan dan tidak diliput, tentu tidak akan seheboh sekarang ini. Yang saya tahu (dari berbagai sumber berita), Bu Susi merokok ketika acara pelantikan menteri telah selesai dilaksanakan. Dan hal tersebut dilakukan di lingkup yang sifatnya lebih “privat” (karena yang ada di Istana saat itu toh orang-orang tertentu dan mayoritas sudah dewasa yang mempunyai akal). Tetapi ketika hal tersebut diliput oleh wartawan dan disiarkan, tentu hal ini sudah menjadi ranah publik. Seharusnya Bu Susi sadar masih berada di wilayah dimana semua mata tertuju padanya. Seharusnya Bu Susi lebih bisa menahan diri untuk tidak dulu merokok. Pun oknum wartawan yang “iseng” tersebut harusnya bisa memilah dan memilih mana hal-hal yag layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Kecuali wartawan tersebut memang selalu buntu ide untuk mencari bahan pemberitaan yang lebih positif nan menarik.

Terlepas dari itu semua, semoga orang-orang bisa lebih bijak dalam menanggapi sebuah isu, lebih cerdas dalam membandingkan suatu hal. Bukan malah menjelek-jelekkan agama tertentu (padahal isunya bukan isu agama). Parameter yang digunakan setidaknya harus sebanding.

Sekali lagi, ini tulisan yang bersifat subjektif, menurut pendapat pribadi saya.

-Selamat bekerja Bu Susi

Senin, 13 Oktober 2014

City Tour Part 1 - Jakarta


Jakarta, sebagai kota yang menjadi pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan bisnis, pusat kebudayaan, serta pusat segala pusat Indonesia, ternyata juga menyimpan potensi wisata yang cukup besar. Banyak sekali tempat-tempat di Jakarta yang bisa dikunjungi, mulai dari Kepulauan Seribu di Utara Jakarta, hingga Ragunan di Selatan-nya, Kota Tua di Barat Jakarta hingga Taman Mini di Timurnya. Dan kali ini saya akan menceritakan perjalanan saya (lebih tepatnya kunjungan) ke beberapa tempat di Jakarta.

Sebenarnya kunjungan ini saya lakukan secara mendadak. Pada Jumat malam tanggal 10 Oktober 2014, saya membaca salah satu artikel di Hipwee (http://hipwee.com) yang membahas tentang tempat-tempat yang wajib dikunjungi di Jakarta. Tak disangka hal tersebut benar-benar menginspirasi saya untuk berwisata di ke beberapa tempat di Jakarta. Saya segera membuat sendiri daftar tempat-tempat yang akan saya kunjungi di Jakarta selama tahun 2014, we’ll see how many places I could visit this year.

Keesokan hari, tepatnya pada tanggal 11 Oktober, saya bangun subuh dan menunaikan kewajiban. Kemudian tepat pukul 05:00 saya jogging mengelilingi Kampus UI. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk dapat mengelilingi Kampus UI dengan rute mulai dari FH – Balairung – FKM – FMIPA, Pusgiwa, FT – FE – FISIP – Fpsiko – FH. Jam 06:15 pagi saya sudah kembali ke apartemen.
Setelah sarapan dan mandi pagi, saya pun siap-siap berangkat. Rencana awal, tempat yang akan saya kunjungi hari ini adalah Monas dan Kota Tua. Saya menggunakan moda transportasi umum Commuter Line (Kereta Rel Listrik) karena merupakan satu-satunya transportasi yang paling efisien di Jakarta dalam hal waktu. Karena hari ini hari sabtu, dimana masyarakat penglaju (baca: warga Depok hingga Bogor yang bekerja/melakukan berbagai kegiatan di Jakarta) libur, sehingga CL tidak terlalu penuh. Walaupun saya tetap tidak dapat tempat duduk, tapi bagi saya CL ini tetap jauh lebih nyaman dibandingkan kondisi pada hari kerja. Saya yang bekerja di Jakarta dan sehari-harinya menggunakan jasa CL ini, sudah terbiasa berdesak-desakan, hingga tergencet, bahkan pernah hampir pingsan dan akhirnya memilih turun dari kereta dan akhirnya pulang tidak kerja. Tetapi menurut saya makin ke sini kondisi CL, dengan perbaikan di-sana-sini, sudah semakin baik walaupun masih jauh dari kata sempurna.

Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Monumen Nasional. Untuk mencapai tempat yang paling terkenal di Jakarta ini dengan menggunakan Commuter Line. Karena Stasiun Gambir tidak lagi digunakan sebagai tempat pemberhentian CL, maka harus turun di Stasiun terdekat dari Monas, yaitu Stasiun Juanda atau Stasiun Gondangdia. Jarak antara Stasiun Juanda – Monas dan Stasiun Gondangdia – Monas adalah hampir sama. Dengan berbagai pertimbangan, salah satunya adalah mau mampir di Masjid Istiqlal, saya memilih untuk turun di Stasiun Juanda. Sesampainya di Stasiun Juanda, saya terlebih dahulu mampir di minimarket yang ada di lantai dasar stasiun untuk membeli makanan dan minuman untuk bekal selama menjadi turis sehari ini. Keluar dari stasiun, banyak alternatif angkutan yang dapat digunakan untuk menuju ke Monas, mulai dari ojek, bajaj, hingga busway (dengan terlebih dahulu transit di Halte Harmoni). Saya lebih memilih jalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh. Untuk menuju ke Monas, kita tinggal menyusuri Jalan Veteran. Lebih mudahnya dengan mengikuti arah jalur rel kereta. Jalanan lumayan teduh karena cahaya matahari terhalang oleh jalur rel yang berada di atas (jalur layang). Selain itu, saya menggunakan kesempatan ini untuk mengambil gambar bangunan-bangunan iconic di Jakarta, seperti Masjid Istiqlal dan deretan bangunan tua berisi kedai-kedai yang ada di sepanjang jalan menuju Monas, salah satunya adalah Kedai Ragusa yang berada di Jl. Veteran. Awalnya, saya berencana untuk mampir terlebih dahulu di Ragusa, kedai es krim Italia yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1932. Namun, karena masih pagi, kedainya belum buka. Saya pun melanjutkan perjalanan dan tak berapa lama sampai di depan lapangan Monas.



Saya sebenarnya sudah beberapa kali ke Monas. Tapi, selama hampir 6 tahun saya merantau dan tinggal di Depok, saya belum pernah sekali pun naik ke puncak Monas. Dan kali ini saya bertekat untuk naik sampai puncak. Terdapat dua pintu masuk untuk masuk ke halaman Monas, di Utara dan Selatan. Saya masuk melalui Pintu Utara. Setelah berhasil masuk halaman Monas, saya langsung menuju pintu masuk yang berada di seberang tugu (bukan di pagar tugu). Jadi, untuk masuk ke dalam tugu harus melewati terowongan bawah tanah melalui sebuah taman yang ada tulisan Tugu Monumen Nasional. Tiket masuk ke dalam Monas berkisar antara Rp. 3ribu – 15ribu (bergantung pada usia: anak-anak, pelajar/mahasiswa, dan orang dewasa). Karena saya masih mempunyai kartu mahasiswa, saya pun akhirnya memanfaatkan kartu tersebut untuk mendapat tiket dengan harga mahasiswa, yakni Rp. 8ribu. Tiket untuk masuk ke Tugu Monas ini terbagi menjadi dua, yaitu tiket museum dan tiket naik ke puncak. Namun, jika anda membeli tiket naik ke puncak, anda tidak perlu lagi membeli tiket masuk museum karena sudah termasuk. Untuk naik ke tugu, pengunjung dibagi ke dalam beberapa kelompok waktu tergantung pada warna gelang yang dipakai (diberi ketika membeli tiket). Jadi, semakin pagi anda datang, semakin cepat untuk bisa naik ke puncak. Saya kebagian naik pukul 10-11. Saya masih mempunyai waktu 1 jam untuk berkeliling melihat museum yang berisi diorama perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Saya cukup takjub melihat dioram-diorama ini. Setelah puas berkeliling, saya pun memutuskan untuk naik ke puncak dan tak disangka, antrian sudah mengular. Panas terik matahari tidak menyurutkan langkah untuk naik ke Puncak. Setelah hampir satu jam antri untuk naik lift, saya akhirnya berhasil naik ke Puncak Monas untuk pertama kali dalam hidup saya *lebay*. Sampai di atas, eng ing eng, biasa aja. Pemandangan Jakarta tidak terlalu keliatan karena kabut asap kendaraan bermotor. Jakarta keliatan panas dan gersang, apalagi lapangan Monas. Masih jauh lebih bagus kalau melihat pemandangan Jakarta dari kantor di lantai 44 Wisma BNI 46 Sudirman *sombong*. Tidak lama saya berada di atas Monas, setelah mengambil beberapa gambar, saya pun kembali antri untuk turun.

Pemandangan Dari Puncak Monas
Jam menunjukkan pukul 1:30,  saya bergegas menuju pintu keluar Lapangan Monas yang berada di Utara. Bermodalkan Google Maps, saya mencari letak Museum Gajah (Museum Nasional Indonesia). Ternyata letaknya ada di Jl. Medan Merdeka Barat dekat dengan Pintu Selatan. Terpaksa saya harus jalan memutar agak jauh. Untungnya jalan trotoar yang ada di sekitaran Monas sangat lebar sehingga nyaman untuk pejalan kaki. Tapi saya cukup senang, karena dengan jalan memutar ini saya sekaligus bisa melihat bangunan-bangunan penting seperti Gd. Mahkamah Agung, Istana Negara (Istana Merdeka), Mahkamah Konstitusi, dan beberapa gedung kementerian yang sederet dengan Museum Gajah (Nasional). Letak museum berada di seberang Monas. Walaupun jalannya sangat lebar, namun untuk menyebrang jalan cukup mudah karena ada lampu merah khusus pejalan kaki yang berjalan efektif (karena biasanya lampu merah pejalan kaki di Indonesia selalu diabaikan oleh pengguna kendaraan bermotor). Selain di depan Museum Gajah, lampu merah pejalan kaki yang berjalan sangat efektif yaitu yang ada di Karawaci, tepatnya di depan Kampus UPH menuju Benton Junction & Lippo Mall Karawaci (ini yang saya tahu). Saya sangat suka konsep jalan dan cafe-cafe pinggir jalan di sekitar UPH dan Lippo Karawaci ini, sangat bagus. Bersih, teduh dan nyaman. Konsepnya seperti Little Singapore. *sorry out of topic*.


Museum Gajah

Sampai di pintu masuk Museum Nasional Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai Museum Gajah, saya langsung mengambil gambar tampak depan museum dengan ikon seekor gajah. Itu lah mengapa museum ini disebut juga sebagai museum gajah. Patung gajah itu sendiri merupakan sumbangan dari Raja Thailand (Raja Chulalongkoron/Rama V) pada tahun 1871. Museum Gajah yang merupakan museum tertua di Indonesia dan Asia Tenggara ini didirikan pada tahun 1778. Harga tiket masuk museum pun sangat murah, yakni Rp. 5ribu. Museum ini sangat ramai dikunjungi pada akhir pekan. Banyak sekali anak-anak sekolah berseragam dan juga wisatawan asing. Saya sangat takjub ketika masuk ke dalam museum. Amazing. Ketika pertama kali masuk, kita akan langsung disuguhi oleh banyak koleksi arca dan prasasti yang dimiliki oleh museum. Yang paling menarik perhatian saya adalah Arca Bhairawa yang memiliki tinggi lebih dari 4 meter. Begitu melihatnya, saya langsung teringat sarkofagus yang ada di film Mumi. Arca Bhairawa ini merupakan sebuah patung seorang laki-laki yang memegang cangkir dan keris serta berdiri tegak di atas tumpukan tengkorak. Di koridor dan halaman dalam museum sepertinya memang dikhususkan sebagai tempat koleksi arca dan prasati. Kemudian di bagian belakang museum terdapat ruang koleksi perunggu dari zaman purba, model/maket rumah-rumah tradisional Indonesia dari Sabang – Merauke. Bagian pada sayap kiri gedung dikhususkan sebagai tempat koleksi keramik dari berbagai negara. Sedangkan bagian sayap kanan museum berisi berbagai koleksi budaya dari berbagai daerah di Indonesia yang dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu Papua, Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera, dll. Cukup lama saya berkeliling di dalam museum. Pukul 13:30, saya memutuskan untuk mengakhiri perjalanan saya hari ini. Ketika hendak keluar museum, saya melihat bus wisata City Tour yang dikhususkan untuk berwisata keliling beberapa tempat bersejarah di Jakarta. Namun sayang bus tersebut keburu berangkat ketika saya hendak keluar museum.
Taman Museum Gajah
Bus Tingkat City Tour

Saya pun menunggu bus wisata berikutnya. Bus wisata ini memiliki konsep bertingkat seperti bus-bus wisata yang ada di Hongkong, Inggris atau Perancis (yang saya ketahui). Bedanya, bus ini tidak memiliki atap terbuka seperti bus wisata di negara-negara tersebut di atas, melainkan tertutup layaknya bus pada umumnya. Mungkin menyesuaikan dengan kondisi Jakarta yang panas dan berdebu. Hampir 30 menit saya menunggu, akhirya bus City Tour pun datang. Ternyata peminat bus wisata ini sangat banyak, sampai tidak muat. Karena konsepnya adalah bus wisata yang memberikan kenyamanan kepada penumpang, maka penumpang tidak diizinkan untuk berdiri di dalam bus. Jadi, ketika di dalam bus semua kursi telah terisi, penumpang yang tidak kebagian disuruh turun untuk menunggu bus berikutnya. Rute bus ini adalah dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Pasar Baru melalui Jl. MH Thamrin – Medan Merdeka Barat – Juanda – Pasar Baru – Medan Merdeka Timur – Medan Merdeka Barat – MH. Thamrin. Bus wisata ini pun tidak berhenti di setiap tempat, hanya di titik-titik tertentu yang ditandai dengan rambu bertanda bus dan tulisan City Tour yang terdapat di halte Plaza Indonesia, Museum Nasional (Museum Gajah), Pecenongan, Ps. Baru, Juanda/Istiqlal, Monas 1, Monas 2, dan Sarinah. Saya pun memilih untuk duduk di kursi paling depan di tingkat ke 2 bus. Karena jendela yang besar tanpa penghalang (supir bus ada di tingkat 1), sehingga pemandangan yang disuguhkan lebih baik daripada di kursi lainnya. Selain pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang ada di sekitar Jl. MH Thamrin, kita juga disuguhkah informasi melalui rekaman audio melalui pengeras suara mengenai bangunan-bangunan bersejarah di Jakarta seperti Museum Nasional, Sekolah Santa Maria dan Santa Ursula (dua sekolah katolik tertua di Indonesia), Gedung Pos/Filateli, Pasar Baru, Gedung Kesenian Jakarta, Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, Istana Negara, Monas, Sarinah, dan terakhir penjelasan mengenai Bundaran HI (tempat paling hips di Jakarta, mulai dari sebagai tempat demo, olahraga (car free day), kampanye, sampai berfoto ria). Setelah puas berkeliling dengan bus wisata, saya memutuskan turun di halte Istiqlal dan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Ini juga pertama kali saya masuk ke dalam masjid, selama ini hanya lewat saja atau melihat suasana dalam masjid melalui siaran televisi pada waktu solat Idul Fitri atau Idul Adha. Saat masuk ke dalam masjid terbesar di Asia Tenggara ini, saya hanya bisa berdecak kagum. Masjid ini begitu besar dan nyaman. Ada rasa tersendiri ketika solat di dalam masjid ini. Masha Allah. Dari halaman masjid, tampak Gereja Katedral yang berada di seberang. Toleransi umat beragama sangat terasa di sini. Semoga Indonesia selalu damai dan terhindar dari isu SARA dan tindakan provokatif lainnya dari pihak manapun. Aamiin

Senja mulai tenggelam, saya pun berjalan menuju Stasiun Juanda yang berada tidak jauh dari Masjid Istiqlal untuk pergi ke Kota Tua. Namun, karena saya ada jadwal berenang pada malam hari, akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke Depok. Tidak terasa perjalanan saya hari ini harus berakhir. Ini merupakan perjalanan yang serba pertama bagi saya, terutama pertama kali saya jalan-jalan sendirian, ya walaupun masih berada di sekitaran Jakarta. Sambil menunggu Commuter Line, saya mengambil agenda dan membuat daftar tempat-tempat lain yang ingin saya kunjungi, terutama tempat-tempat di Jakarta dan sekitarnya. Au revoir, aventure.

Tips:
  • Selain Tugu Monas dan Museum Gajah, terdapat pula Galeri Nasional yang berada di depan Stasiun Gambir untuk dikunjungi. Biasanya selalu ada pameran-pameran seni yang bagus di sini.
  • Jangan lupa membawa bekal, terutama minuman dan makanan. Walaupun banyak pedagang di sekitar tempat-tempat wisata tersebut, tapi kita tidak pernah tau kehigienisannya. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
  • Selalu buang sempah pada tempat sampah yang telah disediakan oleh pengelola tempat wisata.
  • Enjoy your trip :)

Selasa, 26 Agustus 2014

Stereotipe Pekerjaan Mapan

"Siapa bilang ngantor harus di depan monitor"

Itu adalah tagline yang diusung oleh sebuah produk rokok, U Mild, dalam iklan.

Iklan U Mild tersebut berusaha mengubah stereotipe tentang pekerjaan mapan bagi seseorang, terutama dalam hal ini adalah cowok, yang selama ini berlaku di masyarakat, yaitu pekerjaan kantoran. Dalam iklan tersebut dijelaskan bahwa pekerjaan tidak sama dengan ngantor di depan monitor. Pekerjaan bisa dilakukan dimana pun. Sesuai dengan perkembangan saat ini, bahwa banyak sekali hal-hal yg dapat dikatakan sebagai pekerjaan. Hobi travelling dapat dijadikan sebagai sebuah pekerjaan. Pun hobi menulis.

Rabu, 02 Juli 2014

Escape to Pulau Merak Kecil

Pada hari minggu, 15 Juni 2014, saya dan adik saya serta dua orang sepupu akhirnya pergi ke sebuah pulau. Sebenarnya, kepergian boleh dibilang tidak direncanakan. Jadi, seminggu sebelumnya saya pergi ke rumah tante di Merak, Cilegon untuk menghadiri pernikahan sepupu. Pada waktu itu, sepupu saya, Ari, mengajak untuk pergi ke sebuah pulau yang ada di sekitar Merak. Sebagai pecinta pantai, saya langsung mengiyakan ajakan tersebut. Karena selama ini selalu ada wacana untuk pergi mengunjungi pantai-pantai yang ada di Lampung, tapi karena waktu yang tidak ada, akhirnya wacana tinggal wacana. Pikir saya, tidak jadi Lampung, Merak pun jadi. Namun, karena satu dan lain hal, ajakan tersebut batal. Sedih juga rasanya, karena saya sudah sangat menginginkan pergi ke pantai akibat kejenuhan dalam rutinitas bekerja selama beberapa bulan ke belakang. Semenjak saya bekerja, praktis belum ada waktu untuk pergi tamasya. Kembali ke topik sebelumnya, pulau kecil di Merak.

Seperti yang telah saya ceritakan di postingan sebelumnya, bahwa beberapa hari ini saya sudah tidak lagi bekerja. Saya pun memutuskan untuk tidak mencari kerja terlebih dahulu untuk membayar hilangnya waktu bersama keluarga dan teman-teman semenjak saya bekerja. Tak dinyana, orang tua saya meminta saya untuk pergi ke rumah tante yang ada di Merak karena ada urusan. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Saya langsung mengajak sepupu saya, Ari dan adik saya Meisya untuk mengunjungi pulau kecil.

Pagi-pagi sekali, saya dan adik saya berangkat ke Merak dari Serang. Sesampainya di Merak pukul sekitar pukul 9 pagi, awan mendung menggelayuti langit Merak. sempat beberapa kali juga diguyur hujan. Rencana mandi di pulau kecil di pagi hari pun batal. Hujan terus mengguyur Merak hingga siang hari. Saya memutuskan untuk menunggu hujan reda di rumah tante. Sempat beberapa kali perasaan pesimis muncul. Hingga akhirnya saya tertidur hingga pukul 2 siang. Hujan rintik-rintik pun belum juga reda. Dengan kebulatan tekad, akhirnya saya memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke pulau. Setelah pamit ke om dan tante, saya, Meisya, Ari dan adik sepupu yang masih SD, Florentino akhirnya berangkat. Pulau Kecil, here we come!!!

Pulau kecil yang terletak di bibir Pulau Jawa ini terletak di pinggir Selat Sunda. Tepatnya tidak jauh dari pelabuhan penyebrangan Merak, Cilegon. Ya, namanya Pulau Merak Kecil. Warga sekitar biasa menyebutnya Pulau Kecil. Berdasarkan data dari Nusapedia, pulau ini memiliki luas ± 4 ha. Pulau ini dapat dikelilingi selama 10 menit.

Untuk mencapai pulau ini sangat lah mudah. Jika anda dari Jakarta, bisa dicapai dari beberapa lokasi. Seperti Terminal Kp. Rambutan, Pulogadung, Tj. Periok, Slipi dan Kebun Jeruk. Naik bus yang memiliki tujuan akhir Merak. Lama perjalanan dari Jakarta – Merak memakan waktu sekitar 2 – 3 jam, bisa lebih lama tergantung kondisi jalan tol. Jika sudah sampai di Merak, tinggal minta ke supir untuk  diturunkan di Hotel Feri atau Polsek Pulo Merak. Di situ lah terdapat Pantai Mabak, titik untuk menyebrang ke Pulau Merak Kecil. Pantai Mabak ini dahulu cukup indah. Sewaktu kecil, ketika liburan sekolah dan main ke rumah tante yang ada di Merak, saya selalu menyempatkan pergi ke Pantai ini. Tapi sayang, sekarang keadaannya sudah tidak layak dan juga beberapa bagian sudah tidak lagi menjadi area umum karena sudah dibangun penginapan pribadi.

Dari Pantai Mabak, banyak terdapat perahu nelayan yang siap untuk mengantar para wisatawan menyebrang ke Pulau Kecil. Tarif yang diberlakukan pun terhitung murah dengan biaya Rp. 10 ribu per orang PP. Asyiknya adalah tidak ada quota yang diberlakukan. Artinya, berapa pun jumlah wisatawan yang menyewa perahu, mau 1 orang, 2 orang atau 15 orang pun tarifnya tetap sama, yakni Rp. 10 ribu rupiah per orang PP.

Sejak mengayunkan kaki menaiki perahu tradisional, perasaan excited menyelimuti diri saya. Dalam waktu kurang lebih 10 menit, kami pun akhirnya sampai di Pulau Kecil. Kami pun tidak menyia-nyiakan waktu. Kami langsung sibuk mengambil foto diri. Terdapat banyak spot indah untuk berfoto dengan berbagai latar belakang: Kesibukan kapal yang lalu lalang di Pelabuhan, latar belakang gunung, latar belakang bangunan-bangunan pabrik di cilegon, maupun latar belakang laut lepas. Di siang hari, latar belakang gunung di pulau Merak atau pun Pulau Merak Besar dapat menjadi andalan. Namun, pada malam hari cahaya lampu dari bangunan-bangunan pabrik yang ada di Cilegon dapat menjadi daya tarik tersendiri. Muda-mudi di Merak sendiri pada akhir pekan sering menghabiskan malam di pulau ini. Entah ngapain --.—“

Pulau ini, menurut saya cukup bagus untuk ukuran sebuah pulau yang dekat dengan pelabuhan dan area penduduk. Meskipun pantai Mabak sudah sangat kotor, Pulau Kecil ini masih cukup bagus. Terdapat pasir putih dan airnya pun jernih. Jauh lebih jernih daripada pantai yang ada di Anyer (entah sejak kapan saya mulai membenci Anyer yang disebabkan oleh pantainya yang ramai dan airnya yang keruh dan kotor). Ya walau pun tidak jarang kita menemui sampah di pulau ini akibat ulah pengunjung yang tidak bertanggung jawab meninggalkan sampah. Tetapi, beberapa titik masih layak untuk dinikmati. Pulau ini terdiri dari area berpasir dan area batu karang. Seperti area batu karang yang terdapat di balik pulau, kita dapat duduk-duduk menikmati deburan ombak, mini-jacuzzi-alami yang terbentuk di batu karang, atau sekedar menikmati sunset dari puncak pulau. Dan kita juga dapat berenang di area depan pulau di area berpasir.

Pada waktu saya ke pulau ini, saya kurang puas karena beberapa hal. Di antaranya adalah karena cuaca mendung sepanjang hari akhirnya kami tidak mendapatkan sunset yang bagus. Ditambah, karena hari minggu dan sudah sore, sehingga ramai pengunjung. Sebab saya adalah orang yang tidak suka keramaian kalau pergi ke pantai. Pada waktu itu terdapat beberapa keluarga yang rekreasi makan di Pulau, beberapa kelompok muda-mudi yang asyik bakar ikan, pacaran dan lain sebagainya.

Setelah puas mengambil foto dan menemani Florentino yang asyik sendiri berenang, kami akhirnya memutuskan untuk pulang dengan menelpon pemilik kapal. FYI, jangan lupa minta no telepon yang bisa dihubungi kepada pemilik kapal agar kita bisa pulang. Tetapi, jika lupa meminta no telepon, jangan khawatir tidak bisa pulang, karena kapal nelayan sering bolak-balik ke pulau untuk mengantar pengunjung.

Pesan terakhir, selalu jaga kebersihan dan keindahan pulau, agar kita selalu dapat menikmati keindahan Sang Maha Pencipta. Seperti kata pepatah

“Take nothing but picture, leave nothing but footprint”.

Berikut adalah beberapa gambar yang berhasil diambil.

Rabu, 11 Juni 2014

Mudik Part 2

Pada postingan sebelumnya saya bercerita tentang perjalanan mudik saya. Pada postingan ini saya akan menceritakan pengalaman saya selama mudik.

Sesampainya di Lubuk Linggau, saya dan keluarga tidak langsung pulang kampung ke desa ibu saya yang berada di Desa Noman, Kecamatan Muara Rupit, Kabupaten Musi Rawas Utara (pemekaran dari Kabupaten Musi Rawas). Tapi, kami stay di Kota Lubuk Linggau sampai H-1 hari raya, karena rata-rata keluarga kami sudah tinggal di sini semua. Jarak dari Lubuk Linggau ke Desa Noman sekitar 45 - 60 menit perjalanan.

Selama di Lubuk Linggau, saya hanya berdiam diri di rumah. Karena masih dalam bulan ramadhan sehingga malas melakukan kegiatan di luar rumah dan karena  tidak tahu juga mau ke mana. Lubuk Linggau ini kotanya kecil. Jalanannya cuma lurus tok. Tapi jangan salah, di sini ada beberapa tempat wisata, seperti: Bukit Sulap (ini berada tepat di belakang rumah kami), Air Terjun Temam, dan Watervang (sistem irigasi peninggalan Belanda). Di Lubuk Linggau, saya hanya menyempatkan diri ke Lapangan Merdeka saja sambil memuaskan lidah dengan beragam jenis pempek (pempek kulit ikan yang paling saya suka), model, tekwan. Dan harganya sangat murah. Jika di Pulau Jawa harga seporsi pempek mencapai Rp. 15 ribu, di sini cukup dengan harga seribu rupiah per biji pempek dengan rasa yang sangat lezat.

Mudik Part 1

Sebenarnya, ini cerita waktu saya mudik lebaran tahun lalu, tepatnya pada bulan Juni 2013. Tapi, baru sempat saya ceritakan sekarang.

---

Tanggal 21 Juni 2013 adalah waktu yang paling dinanti. Saya, Ibu, kakak dan 2 adik saya sudah bergegas dari rumah kami di Serang, Banten untuk menuju ke Pelabuhan Merak. Di pelabuhan ini lah kami menunggu bus yang akan mengantarkan kami ke Lubuk Linggau, sebuah kota di Sumatera Selatan. Kota ini berbatasan langsung dengan Provinsi Bengkulu dan dapat ditempuh dalam waktu 8 jam perjalanan dari Kota Palembang.

Sekitar pukul 14:00 WIB, bus yang kami tunggu akhirnya datang juga. Tiket bis ini telah saya pesan jauh-jauh hari sebelum keberangkatan hari ini guna mengantisipasi kehabisan tiket saat menjelang lebaran. Bus jurusan Jakarta - Bengkulu ini cukup bersih dan terawat. Kursi-kursi juga nya nyaman dan cukup lega. Setelah selesai menaikkan barang, bus kami akhirnya berangkat dan masuk ke kapal. Lama perjalanan kapal dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni Lampung sekitar 2 jam. Kami memilih menikmati perjalanan dari deck kapal. Kebetulan kapal yang kami naiki cukup nyaman dengan adanya kursi-kursi santai. Tidak terasa akhirnya kapal sampai di Bakauheni tepat di waktu adzan maghrib berkumandang. Kami bergegas masuk ke dalam bus dan berbuka puasa.

Bus mulai keluar kapal. Perasaan saya campur aduk saat itu. Karena Ini adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki kembali di Pulau Sumatera setelah hampir 14 tahun pindah ke Pulau Jawa, tepatnya di Kota Serang Provinsi Banten. Perasaan senang bercampur haru. Perasaan seperti bertemu kembali kekasih yang telah lama terpisah.

Hari mulai gelap dan bus mulai memasuki wilayah Lampung. Pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan sungguh berbeda dengan di Pulau Jawa. Jika sepanjang jalan raya atau jalan tol dari Serang - Jakarta dapat dijumpai bangunan dan jalan yang terawat, hal ini berbeda ketika kita memasuki wilayah Sumatera. Jalan Lintas Sumatera tidak begitu lebar dan di beberapa titik rusak cukup parah. Belum lagi sepanjang jalan yang sepi (jarang rumah penduduk) dan dikelilingi hutan lebat. Tapi, hal ini lah yang amat saya rindukan dari Pulau Sumatera. Pulau ini begitu magis.

Lama perjalanan ke Lubuk Linggau sekitar 16 jam ditambah jalanan yang kurang mulus. Jalanan yang lurus dan landai bisa dijumpai di Lampung. Selebihnya, jalan yang sempit dan berkelok-kelok. Belum lagi supir bus yang ugal-ugalan. Sudah terbayang betapa melahkannya perjalanan ke Sumatera dengan menggunakan bus ini. Dari Lampung, kemudian ke Ogan Komering, Tanjung Enim, jalanan masih bisa ditolerir. Tapi, begitu masuk ke wilayah Lahat, sensasinya baru kerasa. Jalanan sempit berkelok naik turun bukit, ditambah jurang-jurang menganga tepat dipinggir jalan, membuat saya tak henti-hentinya dzikir dan istighfar. Meski demikian, pemandangan yang disuguhkan terutama di wilayah Lahat ini cukup mengesankan bagi saya. Pemandangan alam berupa pegunungan dan hutan hujan tropis begitu mengagumkan.

Setelah perjalanan yang sangat melelahkan, akhirnya bus kami sampai di kota yang memiliki semboyan Sebiduk Semare, Kota Lubuk Linggau. Kota yang telah lama saya tinggalkan.

Rabu, 28 Mei 2014

The lowest point of your life

Right now, I feel like I'm at the lowest point of my life. It seems like problem  comes repeatedly: Losing significant-other, losing job, family problem, etc.

First, let go of someone you've been in love with is never that easy.
Especially when you are the one who is dumped by.

Second, I just realized that losing job is way harder than the first problem I had. At first, I have no courage to face the world. It ruins my life.

At the moment like this, I try to keep the spirit up on me. And I remember a quote "...Above all, don't lose hope".

And I'm feeling grateful that I have family, mom-dad-sisters, who always support me. Who keep holding me whenever I break down. Who cheer me up in the saddest moment I have. Being with them is the most precious moment.

And after going through a very tough time, now I'm ready to start brand-new days with #100daysofhappiness. Bonjour :)

Jumat, 11 April 2014

It's been a while

It's been a while (if it's not that long) that I didn't publish any post(s) in this blog. Especially after getting involved in this program of Management Trainee in my company. I feel like I don't (or never) have time to write. Blame  this job, yet it's I enjoy the most so far.

Anyway, it's been 3 months I'm working in my current job. During that time, a lot of things happened in my life. Due to this job, I had to let go someone who I loved (actually she did break up with me).

But, once said life must go on. I focus on my job. My new life. Meet with new people helps me forget about the heartbreak.

During the 3 months of working (training as MT), I learned a lot of things. I learned how to manage relations both with my superiors and subordinates. How to face the problems that came and immediatly solved it. It all taught me how to be mature.

Selasa, 14 Januari 2014

Kebebasan oleh Sartre

Bonjour à tous,

Akhirnya bisa nulis lagi di blog ini.
Pada kesempatan kali ini, saya akan menulis tentang konsep kebebasan yang dikemukakan oleh salah seorang pemikir besar Prancis, Jean-Paul Sartre dalam tulisannya yang berjudul “L’extentialisme est un humanisme atau Extentialism is humanism”.

Jean-Paul Sartre adalah seorang penganut filsafat ekstensialisme dari Prancis. Selain seorang filsuf, ia juga merupakan seorang sastrawan besar Prancis.
Ekstensialisme adalah pemikiran tentang modus keberadaan, kesadaran individu sebagai subjek. Dengan akal budi, manusia dapat menyadari eksistensinya (modus berada).

Sartre percaya bahwa eksistensi mendahului esensi (l’existence précède l’essence). Artinya, manusia lahir ke dunia, kemudian menjadi ‘sesuatu’. Sartre menganggap bahwa manusia seperti ‘terlempar’ begitu saja ke dunia, lalu akan menjadi apa manusia (individu) tersebut, tergantung dari pilihan yang ia ambil. Hal tersebut bertentangan dengan konsep yang terdapat dalam agama, yaitu manusia diturunkan ke dunia dengan tujuan. – Dan saya percaya bahwa manusia diturunkan ke dunia dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan (l’essence précède l’existence atau esensi mendahului eksistensi), baik itu untuk menebus dosa Adam dan Hawa, menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi, dan yang pasti untuk bersujud ke pada-Nya. Apakah manusia akan mengikuti esensi tersebut atau tidak, itu tergantung dari pilihan manusia (individu) sebagai mahluk bebas yang diberi akal dan pikiran. –
Yang membuat saya tertarik dengan pemikiran Sartre adalah konsep kebebasan yang dikemukan oleh Sartre. Manusia, sebagai mahluk yang paling sempurna, yang diberi akal dan pikiran, menurut Sartre mampu melakukan apa pun. Dalam pemikirannya, Sartre yang menegasikan (meniadakan) Tuhan. – meniadakan bukan berarti tidak mengakui adanya Tuhan –, menganggap bahwa manusia adalah subjek atas dirinya sendiri.

Yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa kita, sebagai mahluk ‘bebas’, harus bertanggung jawab atas semua pilihan yang kita ambil. Jangan pernah menyalahkan orang lain (mauvaise foi) karena sesungguhnya kita mempunyai pilihan yang bebas.

Pantai

Tiba-tiba teringat sepenggal puisi yang dibacakan oleh Dian Sastro dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang berbunyi:

Ku berlari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi...

Kenapa pantai? Kenapa tidak gunung? Mungkin karena dibutuhkan perjuangan ekstra untuk bisa sampai ke gunung. Jadi, dipilihlah pantai yang relatif lebih mudah untuk dicapai. *Asal*

Tapi, bagi saya pantai adalah tujuan favorite. Air laut, ombak dan pasir pantai adalah media untuk saya menyembuhkan luka. Baik luka fisik maupun luka emosional.
Memandang cakrawala tanpa batas, harmonisasi antara desiran ombak dan desau angin yang menerpa, menjadi nyanyian alam yang paling merdu yang mampu mengobati luka yang saya alami.


Ketika saya sudah merasa terlalu lelah dengan berbagai situasi hidup yang saya hadapi, saya selalu menyempatkan diri untuk pergi ke pantai. Lautan luas, tidak ada hal yang mampu menghalangi pandangan, tidak perlu menengadah untuk melihat langit. Saya merasa begitu  dekat dengan Tuhan. Saya merasa Tuhan memberikan obat bagi luka di jiwa saya melalui terpaan angin di kulit saya dan juga melalui suara ombak yang saya dengar.

Saya suka laut dan pantai sejak kecil. Saya ingat, dulu ketika kecil ibu sering mengajak saya ke pantai. Mungkin sejak itulah ikatan emosional antara saya dan pantai terjalin dan menjadi semakin kuat   hingga saya beranjak dewasa.

Pantai selalu menjadi teman yang selalu menerima apa adanya saya.

Minggu, 12 Januari 2014

Persahabatan

I love these two guys.

Spongebob: “What if I break your trust someday?”
Patrick: “Trusting you is my decision, proving me wrong is your choice.”

—-

I think, that’s what a frienship supposed to be like. Trusting each other. Menerima satu sama lain, apa adanya. Tetap menerima ketika sahabat melakukan kesalahan, bukan malah menjauh.

Spongebob seems don’t mind if Patrick is damn idiot. Spongebob pernah berpura-pura menjadi sangat bodoh demi Patrick. Dan Patrick adalah sahabat yang paling setia. Bahkan ketika Spongebob menjadi kaya raya, kemudian pergi meninggalkan Patrick dan kawan-kawannya. Lalu, Spongebob kembali miskin, Patrick adalah orang pertama yang menerima Spongebob kembali.

Patrick once said:
“Knowledge cannot replace friendship. I’d rather be an idiot than lose you.”

And

Spongebob: “What do you do when I’m gone?”
Patrick: “Wait for you to come back.”

Banyak sekali dialogue-dialogue antara Spongebob dan Patrick yang (menurut saya) sangat bagus.
Dan, karena dialogue-dialogue tersebut orang-orang sering bilang bahwa Spongebob dan Patrick are gay. Hahaha how funny is that? Either they’re gay or not, d’apres moi, persahabatan antara Spongebob dan Patrick itu adalah salah satu persahabatan terbaik.

Kisah Perjalanan - 1

Ini cerita tentang perjalanan…
Ini cerita tentang pencarian…
Tapi, ini bukan cerita tentang kehilangan…
Ini tentang ketidakhadiran…
Pencarian jati diri, sosok, dan spiritualitas.

—-

Jakarta, 10 Januari

Panggilan terakhir dari operator stasiun kereta api Senen telah berbunyi. Raga sudah duduk di dalam kereta sambil mendengarkan musik dari iPod miliknya sambil bermain game. Bagi Raga, perjalanannya kali ini tidak berbeda dengan semua perjalanan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Untuk menghilangkan rasa penatnya terhadap rutinitas di ibukota. Destinasi favoritnya adalah Bali. Di sana, ia menemukan kedamaian. Ia merasa tenang. Energi spiritualitasnya seperti terisi kembali. Ia merasa sangat dekat dengan Tuhan. Namun, yang berbeda dari perjalanannya kali ini adalah pilihannya untuk menggunakan transportasi darat, kereta api. Ia ingin menikmati perjalanan. Ia ingin merasakan setiap inchi udara yang dapat ia hirup dari barat Pulau Jawa hingga ke ujung timur pulau para wali tersebut.

Begitu pula Aline. Ini merupakan perjalanan pertamanya, yang ia lakukan benar-benar sendiri. Perjalanannya kali ini merupakan ekspresi kebebasannya atas segala beban yang ia pikul selama ini. Ia ingin meluapkan segala emosi. Ia ingin memberi reward bagi dirinya, bagi jiwanya.  Baginya, tidak masalah sejauh apa perjalanan yang akan ia tempuh menuju Pulau Dewata, yang ia cari bukan di sana, tetapi sosok yang selama ini ia cari, ia rindukan, mungkin saja akan ia temukan selama perjalanan tersebut. Paling tidak, dari perjalanannya kali ini, ia ingin menghirup sedikit saja oksigen yang sama dengan orang yang ia rindukan. Mungkin.

—-

Aline, walau bagaimana pun, ia tetaplah seorang perempuan yang akan sibuk mengurusi hal sekecil apa pun. Ia orang yang sangat detil. Ia ingin perjalanannya ini berjalan dengan baik. Ia tidak ingin ada satu barang pun yang tertinggal. Sejauh itu pula ia telah mengemasi barang-barang yang akan ia bawa.
Pagi hari, Aline sudah bersiap-siap. Ia akan diantar oleh kekasihnya, Randi. Pria yang begitu over-protective terhadap Aline. Berkali-kali Randi meminta agar Ia dapat menemani Alin, berkali-kali ia meminta Aline untuk menggunakan transportasi udara saja, yang lebih cepat dan nyaman. Tapi, berkali-kali pula Aline menolak permintaan Randi tersebut. Randi seperti sudah kehabisan akal. Ia tahu, Aline orang yang keras. Ia akan tetap melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Di saat yang sama, seorang pria dengan perawakan cukup tinggi dengan tas backpack sudah duduk di kereta yang dalam beberapa menit lagi akan memacu lajunya. Dengan tempat duduk yang tidak terlalu bagus, namun tetap nyaman.

Aline sesekali memperhatikan sekitar. Penumpang di sebelahnya, seorang ibu-ibu yang akan turun di Semarang, sejak tadi tidur. Aline sempat bercengkrama dengan perempuan tersebut. Aline mulai dilanda rasa bosan. Namun ia ingin tetap terjaga. Meskipun tidak ada pemandangan di luar yang dapat dinikmati, bagi Aline perjalanan malam merupakan perjalanan untuk lebih memaknai dan merasakan perjalanan tersebut. Di tempat lain, kereta yang ditumpangi oleh Raga sedang berhenti di stasiun Cirebon. Begitu banyak pedagang yang lalu-lalang menjajakan barang dagangannya. Praktis, kereta ekonomi yang sudah ramai semakin ramai saja. Raga tidak terusik. Sesekali ia melempar senyum kepada penumpang yang berada di hadapan dia. Kereta mulai berangkat.

—-

Surabaya, 11 Januari

Perjalanan dari Surabaya ke Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi memakan waktu yang cukup lama, sekitar 6 jam lebih. Perjalanan ini yang Aline tunggu. Ia terus membayangkan sosok yang seharusnya ada dalam hidupnya, namun sosok tersebut tidak pernah hadir. Dinginnya AC bus eksekutif Surabaya – Denpasar cukup mampu meredam panas dan lembabnya udara di kota metropolis terbesar di wilayah Timur Indonesia ini.
Bus dari Surabaya menuju Denpasar ini begitu ‘kasar’ dikemudikan. Sang supir baru akan mengendurkan laju busnya kalau ada penumpang baru yang akan naik. Para penumpang itu lebih didominasi oleh warga asing, yang entah dari mana, yang akan menuju Bali.
Ketika bus yang mereka tumpangi beristirahat untuk makan siang di sebuah rumah makan, di meja makan yang berseberangan, mata Raga dan Aline tidak sengaja bertemu. Raga langsung melempar pandangan, sedangkan Aline melanjutkan suapannya. Raga tidak menyangka bahwa Ia berada dalam bus yang sama dengan perempuan cantik tersebut. Sudah cukup lama rasanya ia berada di dalam bus, tetapi ia tidak pernah melihatnya.

Selesai makan siang, semua penumpang kembali ke dalam bus. Raga yang sudah masuk dan duduk di dalam bus, melempar pandangan ke sekeliling, namun ia tidak melihat sosok perempuan yang ia lihat di rumah makan tadi. Mungkin ia bukan penumpang bus ini, batinnya. Namun, ketika bus hendak berangkat, terlihat seorang perempuan yang tergopoh-gopoh sehabis berlari. Perempuan tersebut hampir saja ketinggalan bus. Dan perempuan tersebut langsung menuju ke tempat duduk bagian belakang, jauh di belakang tempat duduk Raga.

Banyuwangi, 11Januari

Menjelang jam 6 sore, bus sudah memasuki kapal. Dari pelabuhan Ketapang, kapal mulai menarik jangkarnya. Suara kapal mulai menderu. Sementara para penumpang lain mulai keluar untuk menuju geladak kapal, Raga seperti sedang tidak ingin beranjak dari dalam bus. Toh perjalanan tersebut hanya memakan waktu kurang dari satu jam, pikir Raga. Dilihatnya sosok perempuan yang Ia lihat sejak di rumah makan tadi. Rasa penasaran Raga akan perempuan tersebut membuatnya mau ikut turun. Aline, hanya duduk saja sambil sesekali melepaskan pandangan ke laut lepas. Di genggamannya terdapat sebuah buku, entah apa. Raga memutar otak agar dapat bertegur sapa dengan perempuan tersebut. Lama ia tertegun, sampai akhirnya ia sadar perempuan tersebut sudah tidak lagi berada di tempatnya. Yang lebih mengejutkan Raga adalah perempuan itu sudah ada berdiri dengan beberapa jarak di sampingnya, berdiri di pinggiran kapal. Perempuan tersebut kemudian menoleh, sambil menunjukkan buku yang ia pegang, “Mau baca?” Ia membuka percakapan. Rasa kikuk menyergapi Raga, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Diambilnya buku tersebut, sambil memberikan senyum. “Nayla” baca Raga. “Djenar cerdas” jawab perempuan tersebut. “Aline” lanjutnya. Raga sempat bingung, namun secepat kilat ia menyadari, itu nama perempuan yang berdiri di hadapannya, “Saya Raga”. Kemudian, keduanya lebih banyak diam.

Denpasar, 11 Januari

Kapal bersandar. Bus mulai bergerak ke luar. Namun, sebelum keluar pelabuhan dan masuk ke Bali, terlebih dahulu para penumpang yang akan memasuki Bali diwajibkan untuk melalui pos pemeriksaan dengan menunjukkan kartu identitas.
Keluar dari pelabuhan, suasana Bali mulai terasa ketika bus sudah memasuki wilayah Negara. Perjalanan tersebut cukup memakan waktu, hampir 3 jam. Bus tersebut melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, sehingga membuat penumpang hampir copot jantung, termasuk Raga dan Aline. Apalagi ditambah kontur sepanjang perjalanan dari Negara menuju Denpasar yang naik turun dan berkelok-kelok, membuat perjalanan 3 jam terasa menjadi sangat lama. Untuk menghilangkan rasa takutnya, Raga lebih memilih tidur. Sedangkan Aline yang berada di barisan bangku belakang, merasakan ketegangan yang lebih tinggi akibat pergerakan badan bus. Aline terus memandang ke luar bus dan sesekali melihat ke langit. Malam hari ini begitu indah, dengan bulan purnama yang hampir penuh. Aline melihat begitu banyak bintang, jauh lebih banyak dari yang pernah ia lihat. Apalagi langit Jakarta yang begitu angkuh menghalangi kerlip bintang yang seperti sudah kehabisan bahan bakar hingga tak kuasa menembus tebalnya polusi ibukota. Aline terus memandangi langit, berharap satu saja bintang jatuh agar ia dapat memohon suatu keajaiban. Permohonan yang sudah lama ia pendam. — Di bawah langit yang sama, dengan rembulan yang bersinar sama terangnya, mungkin saja kau juga sedang mengingat ku. Aku yang mungkin saja tak kau rindukan lagi. Tapi, aku begitu merindukan mu—, Batin Aline. Ini adalah yang kesekian kalinya Aline teringat akan sosok tersebut. Sosok yang begitu jauh hingga hampir tak ia kenal, namun begitu dekat, begitu nyata di lubuk hatinya.

——-

Perspektif

Sebenarnya apa sih standar sesuatu hal menjadi baik atau buruk? Jika dipandang dari perspektif agama, sesuatu menjadi baik ketika hal tersebut sesuai dengan perintah dalam agama. Dalam kehidupan sosial, sesuatu hal dapat dikatakan baik jika sesuai dengan norma yang berlaku dalam lingkup sosial tersebut. Baik bagi agama A belum tentu menjadi baik di agama B. Baik bagi lingkup sosial X belum tentu baik bagi lingkup sosial Y. Begitu pun sebaliknya. Tambah rumit lagi ketika dalam kehidupan nyata, ada begitu banyak agama dan kepercayaan, juga lingkup sosial (budaya, adat-istiadat) yang begitu beragam. Artinya, suatu hal menjadi baik atau buruk tergantung dari perspektif mana yang memandang. Baik dan buruk menjadi begitu subjektif.

Ketika memasuki tahun 2014, terjadi hal yang menghebohkan. Yaitu, terjadinya penggerebekan terhadap terduga anggota teroris di Pamulang, Tangerang Selatan yang berujung pada tewasnya salah satu anggota terduga teroris tersebut. Kemudian terjadi pro-kontra di masyarakat mengenai isu penembakan oleh Densus 88 tersebut.

Kemudian, dalam film-film Hollywood sering digambarkan tentang negara Amerika yang melawan sekelompok orang yang mereka anggap teroris yang berasal dari -biasanya- Rusia, Asia, dan yang paling baru menjadi musuh negara Amerika dalam film adalah orang-orang Timur Tengah yang biasanya diidentifikasi beragama Islam. Dalam film-film tersebut, tentu karena dibuat oleh Hollywood, maka yang menjadi pahlawan yang tentu 'baik' adalah Amerika. Sedangkan lawannya tentu menjadi 'buruk'. Sekali lagi perspektif.

Jika kita mengubah cara pandang, Rusia, atau Timur Tengah tentu mempunyai kepentingan tersendiri dan mereka berkewajiban untuk membela dan mempertahankan kepentingan negara atau kelompoknya, tentu yang menjadi penjahat atau teroris di sini adalah Amerika yang dianggap mau menghancurkan negara atau kelompok tersebut.
Contoh lain adalah Perang Vietnam. Dalam sejarah nyata Perang Vietnam terjadi ketika negara Amerika Serikat, yang menjadi negara Adidaya pasca Perang Dingin dan PD II, menginvasi negara Vietnam. Sehingga, meletuslah perang tersebut yang berujung pada kemenangan Vietnam. Jika dilihat dari perspektif Vietnam, tentu saja mereka wajib membela dan berjuang hingga titik darah penghabisan melawan invasi dari negata asing penjajah. Dalam perspektif negara Vietnam, Amerika adalah penjahat.  Sejarah ini kemudian difilmkan oleh Hollywood (Amerika) dengan perspektif -tentu saja- Amerika sebagai pahlawan. Sekali lagi perspektif.

Dengan demikian, baik atau buruk itu menjadi semakin bias.

Semua hal bisa menjadi buruk bin jahat dan semua hal bisa menjadi baik. Yang membedakan keduanya adalah jumlah. Ketika suatu hal dilakukan secara masif, maka hal tersebut menjadi 'baik'. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian kecil orang, akan menjadi aneh, asing, tidak baik, dan seterusnya.

Jumat, 10 Januari 2014

Trip To Lampung Selatan

Trip to Lampung Selatan

Kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya saat ‘backpacking’ with my sisters, Aziza dan Meisya ke Lampung. Sebenernya ini ga bisa sepenuhnya disebut backpacking. Kenapa? Satu, karena kami pergi ga bawa yang namanya  tas ransel yang menjadi ciri khas liburan à la backpacker. My sister forced me to bring luggage -.-. Ya sudah, nurut aja. Walaupun jadinya agak repot sih karena harus nyeret-nyeret koper padahal liburan dengan transportasi umum yang ribet.

Sebenernya short trip kali ini bener-bener ga direncanain sama sekali (baca: dadakan). Dan saya percaya sama yang namanya ‘The power of words’. Jadi, pada hari selasa tanggal 15 Oktober 2013, dini hari, saya sempet nge-tweet begini “Tiba-tiba semangat buat cari duit dan nabung, buat berpetualang. Indonesia terlalu indah untuk dilewatkan”. Di saat insomnia begitu, tiba-tiba aja pengen nulis status kaya gitu di twitter. Eh, bener aja dua hari kemudian, tepatnya pada hari kamis 17 Oktober 2013, saat lagi ngobrol-ngobrol santai di sore hari sama kakak perempuan saya, dia nawarin aja gitu buat ke Lampung. Saya langsung semangat meng-iya-kan. Kebetulan dia punya temen orang Lampung. Jadi lah kami nanya-nanya pantai yang bagus buat liburan di Lampung. Kebetulan, saya dan kakak saya adalah pecinta pantai. Hehe :D

Saya juga googling pantai-pantai di Lampung dan hasilnya banyak banget pantai-pantai di Lampung yang masih bagus. Beberapa yang banyak ‘direkomendasi’ oleh mbah Google adalah Pantai Wartawan dan Pantai Merak Belantung. Dan setelah melihat di salah satu video di Youtube tentang Pantai Merak Belantung, saya pun langsung menjatuhkan pilihan saya ke Merak Belantung dibading Pantai Wartawan. Alasannya, setelah googling Pantai Wartawan ini  aksesnya susah kalau tidak bawa kendaraan pribadi. Selain itu, dilihat di Google Images juga Pantai Wartawan ini kurang saya suka karena banyak karang.

Malam harinya, kami pun packing. Pakaian saya, kakak dan adik perempuan saya dimasukkan dalam satu koper. Sedangkan peralatan lain seperti kamera, cemilan selama perjalanan, dan barang-barang lain yang tidak muat di dalam koper, dimasukkan ke dalam dua tas yang masing-masing dibawa oleh kakak dan adik saya. Saya kebagian buat nyeret koper -.-
Keesokan harinya, tepatnya pada tanggal 18 Oktober sekitar pukul 13:30, kami berangkat. Kebetulan rumah saya di Ibukota Provinsi Banten, Serang yang tidak terlalu jauh dari Lampung (jika dibandingkan jarak Jakarta-Lampung). Jadi, Serang ini ada di tengah-tengah antara Jakarta dan Lampung. Sebelum berangkat, kami menyempatkan diri berfoto-foto dulu. We were so excited due to it was the very first time for us to go backpacking just the three of us. Sama-sama ga tau daerah Lampung pula. Intinya NekaD pake D. Dari rumah, kami menyewa taksi sampe Patung (terminal bayangan di pintu tol Serang Timur Rp. 40 ribu). Dari Patung, kami naik bis ke Merak dengan ongkos Rp. 10 ribu. (Untuk yang dari Jakarta, bisa naik bus apa pun yang tujuannya ke Merak. Bisa dari Kp. Rambutan, Kalideres, Pulogadung, Tj. Periok, Slipi (seberang RS. Harapan Kita), Kebon Jeruk atau dari mana pun yang penting tujuan akhirnya Merak, ongkosnya Rp. 20 ribu). Kemudian kami turun di terminal terpadu Merak. Sebenernya jarak dari terminal ke pelabuhan ini deket banget, tinggal jalan kaki seiprit langsung nyampe. Tapi, karena bawa dua saudara perempuan yang manja banget, alhasil kami naik ojek dengan biaya Rp. 5 ribu per ojek. Sampe pelabuhan jam 3 sore, kami langsung menuju loket untuk membeli tiket kapal ekonomi seharga Rp. 13 ribu per orang. Ga lama, kapal pun dateng. Langsung aja masuk kapal. Pukul 16:00 kapal mulai tarik jangkar. Lama penyebrangan dari Merak ke Bakauheni, Lampung sekitar 2 jam. Sempet ngerasa agak pusing juga di kapal, selain karena ombak yang lumayan besar, juga karena kapal ekonomi yang jorok dan asap rokok di mana-mana. Pukul 18:30 kapal akhirnya berlabuh di Bakauheni. Turun dari kapal, siap-siap aja dengan banyaknya orang yang menawarkan jasa transportasi (bis, travel) untuk mengantarkan sampe ke tempat tujuan. Tujuan kami adalah Kalianda. Untuk ongkos sendiri, dari Pelabuhan Bakauheni menuju Kalianda ini bervariasi. Angkot Rp. 15 ribu, bis ekonomi Bakauheni – Rajabasa (katanya) Rp. 5 ribu, Travel (mobil pribadi yang dijadikan angkutan umum) biasanya Rp. 15– 25 ribu, tergantung kesepakatan dan kelihaian dalam menawar. Tapi, kami lebih memilih naik angkot karena kami akan menuju rumah salah satu kenalan kakak saya yang berada di Way Gayam yang berada di Kecamatan Penengahan, sebelum Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan. Kami turun di perempatan Gayam.

Keesokan harinya, tepat pada hari Sabtu, 19 Oktober 2013, sebelum menuju ke pantai, di desa Way Gayam sedang ada pernikahan yang panggungnya di pinggir jalan, lengkap dengan organ tunggal. Mampir sebentar, dapet makan dan dapet souvenir \(^_^)/ Dan ga sengaja liat marka jalan di desa Way Gayam yang bertuliskan “Pantai Wartawan ke kiri, dan Makan Pahlawan Radin Inten ke kanan”. Kami pun bertanya ke warga setempat tentang lokasi Pantai Wartawan, mereka bilang masih jauh dan aksesnya susah, ga ada transportasi umum menuju ke sana. Apalagi kalau sudah sore. Ini menurut saya salah satu kekurangan di Lampung. Susahnya akses untuk menuju ke tempat-tempat wisata (terutama untuk yang tidak bawa kendaraan pribadi). Padahal, Lampung ini kaya akan potensi wisata dari mulai pantai-pantai pasir putih yang masih alami yang terbentang sepanjang Teluk Lampung, air terjun, tempat-tempat bersejarah, dll.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pantai Merak Belantung yang ada di Kalianda. Kami yang buta akan wilayah dan jalan di Lampung, selalu mengandalkan google untuk mencari akses termudah menuju lokasi. Hasilnya nihil. Sedikit sekali informasi yang bisa diperoleh. Salah satu tempat terpercaya untuk bertanya adalah pegawai Alfamart yang ada di perempatan Gayam. Kami diberitahu bahwa untuk menuju Pantai Merak Belantung, kami harus menyambung angkot dua kali. Yang pertama, naik angkot warna kuning jurusan Bakauheni – Kalianda, dan berhenti di Pasar Kalianda dengan ongkos Rp. 7 ribu (karena kami dari Gayam). Sampai di pasar, kami agak bingung (tipikal orang gatau jalan, serba bingung) harus naik angkot seperti apa. Akhirnya bertanya ke seorang bapak-bapak yang lagi duduk sama anaknya, dikasih tau kalau menuju Merak Belantung sebenarnya lebih mudah naik bis dari Bakauheni yang menuju Rajabasa dan langsung turun di Pertigaan Pantai Merak Belantung. Tapi, karena bis tersebut tidak lewat pasar, alternatif lain adalah menyambung angkot yang warna kuning. Kami bingung, angkot warna kuning adalah angkot yang kami tumpangi tadi. Eh ternyata, warna kuning yang dimaksud si bapak adalah angkot warna oranye dengan kode 002. Sedikit was-was, kami bertanya ke salah satu penumpang di angkot (anak sekolah) apakah benar angkot tersebut menuju Merak Belantung, dan ternyata benar. Lega.
Agak lama juga untuk sampai menuju Merak Belantung. Setelah hampir 20 menit perjalanan dari Pasar Kalianda, akhirnya kami sampai di Pertigaan Pantai Merak Belantung dengan ciri baliho besar bertuliskan “Grand Elty Krakatoa Nirwana Resort” yang cukup eye catching melintang di Jalan Lintas Sumatera. Ongkos dari Pasar menuju Merak Belantung adalah Rp 5 ribu untuk penumpang dewasa, dan Rp 3 ribu untuk penumpang anak-anak.

Sampai di pertigaan, banyak sekali ojek-ojek yang siap mengantarkan pengunjung menuju pantai. Kami langsung didekati oleh tukang-tukang ojek yang siap menawarkan jasanya. Ongkos ojek ini bekisar antara 6 ribu – 10 ribu, tergantung kelihaian dalam menawar. Karena malas nawar, kami diantar menuju pantai Merak Belantung yang berjarak ‘hanya’ 2 KM ini dengan ongkos Rp 10 ribu per ojek. Agak rugi juga sebenarnya, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Sebenarnya jarak dari Jalan Lintas Sumatera menuju pantai-pantai ini dekat (untuk yang kuat jalan). Seperti Pantai Bagus, yang berada di KM 1, Pantai Merak Belantung di KM 2, dan Grand Elty yang ada di KM 3. Pantai Merak Belantung adalah salah satu pantai yang masuk ke dalam kawasan Krakatoa Nirwana Resort, yang dikelola oleh Bakrieland.
Di jalan menuju pantai, tukang ojek yang saya tumpangi menawarkan diri untuk menjemput saya karena tidak adanya transportasi dari pantai menuju jalan raya. Saya dikasih nomer hp oleh tukang ojek tsb. Pukul 14:30, kami akhirnya tiba di Pantai Merak Belantung. Kami diantar oleh tukang ojek sampai di loket masuk. Setelah bayar ojek Rp 30 ribu untuk saya, kakak dan adik saya (ngerasa rugi karena jaraknya deket -.-), kami langsung disambut oleh penjaga loket. Kocek yang harus dikeluarkan untuk masuk ke pantai ini sebenarnya cukup murah, hanya Rp. 10 ribu per tiket. Menurut saya worth it  lah. Sampai di pantai, kami langsung tertawa riang gembira melihat hamparan pasir putih yang membentang panjang mengitari Teluk Belantung serta laut biru di depan mata. Ditambah, pantai ini sepi pengunjung (sepi dalam arti positif). Tidak seperti di Anyer yang sudah terlalu membludak. Walaupun sepi, kami tetap merasa aman di sini dan privasi juga terjaga. Seperti private beach jadinya. Pengunjung yang Cuma ada beberapa, hanya duduk-duduk di pondok-pondok yang ada di pinggir pantai. Pondok di sini disewakan dengan harga Rp 20 ribu ‘sepuasnya’ (Beda jauh dengan di Anyer yang harganya mencapai Rp 60 ribu). Kami langsung berfoto-foto dan mandi di pantai. Saking sepinya, bahkan Cuma kami bertiga yang mandi di laut yang sangat biru tersebut. Puas rasanya bisa berjemur, berfoto, dan mandi sepuasnya di pantai yang sepi seperti ini.
Pukul 17:00, kami sudah siap beranjak pulang karena memikirkan tidak adanya transportasi menuju ke jalan raya. Saat menuju ke luar pantai, salah satu tukang ojek yang kami tumpangi tadi sudah menunggu, padahal saya belum sms dia. Namun, kami memutuskan untuk berjalan kaki saja dari Pantai Merak Belantung menuju Jalan Lintas Sumatera (abangnya agak keki juga kayaknya :D). Benar saja, hanya 20 menit waktu yang dibutuhkan untuk keluar dengan jalan kaki. Pukul 17:20 kami sudah berada di jalan raya. Saran saya, kalau pergi ke Pantai Bagus atau Merak Belantung rame-rame (minimal berempat), mending jalan kaki aja. Ga akan kerasa. Toh di antara Pantai Bagus dan Pantai Merak Belantung ada rumah-rumah warga. Nah, kalau ke Grand Elty mending naik ojek. Kalau tidak bawa kendaraan pribadi, mending jangan terlalu sore keluarnya karena sudah jarang ojek.

Sampai di gerbang Krakatoa Nirwana Resort yang berada di pinggir Jalan Lintas Sumatera, kami menunggu angkutan yang akan membawa kami kembali ke Gayam. Kami menunggu angkot oranye yang akan membawa kami ke Pasar Kalianda, namun karena sudah terlalu sore sudah jarang sekali angkot. Untung kami bertemu seorang ibu yang juga sedang menunggu angkutan menuju Gayam. Kami diberitahu bahwa ada akses yang lebih mudah untuk menuju Gayam atau Bakauheni dan sebaliknya, yaitu lebih baik naik bis apapun jurusan bakauheni atau travel (mobil pribadi yang disewakan untuk umum). Karena kalau naik angkot, susah aksesnya kalau malam hari. Untuk ongkos bis dari Merak Belantung menuju Gayam atau menuju Bakau adalah 10 ribu. Sedangkan untuk travel, tergantung kesepakatan dengan supir. Kalau travel dari Merak Belantung menuju Gayam biasanya Rp 10 – 15 ribu, dan menuju Bakauheni adalah Rp 20 – 25 ribu bisa lebih murah tergantung kelihaian dalam bernegosiasi.

Hari minggu yang merupakan hari terakhir kami di Lampung, teman kakak saya mengajak kami untuk pergi menuju pantai yang berada di dekat Gayam. Warga menyebutnya pesisir.  Kami menggunakan 3 buah motor yang dipinjam dari saudara-saudara teman kakak saya tersebut. Oleh sebab Pantai Wartawan berada di jalur yang sama dengan ‘pesisir’, maka kami yang penasaran dengan pantai wartawan meminta untuk pergi ke sana. Pukul 12:30 siang, kami berangkat. Cuaca sedang mendung dengan gerimis kecil. Kami bergegas mempercepat laju motor keluar dari Gayam. Ternyata, cuaca mendung hanya di Gayam. Untuk mencapai lokasi pantai yang berada di Way Muli, Rajabasa kami melalui beberapa desa diantaranya adalah Way Kanan. Jalan menuju ke Way Muli menurut saya sangat menakjubkan. Setelah melewati beberapa desa, jalan mulai menanjak. Semakin lama semakin menanjak disertai jurang di kanan dan kiri jalan. Saya yang membonceng adik saya merasa sangat takjub dengan jalan menuju pantai-pantai yang berada di balik Gunung Rajabasa tersebut. Karena lokasinya yang berada di balik gunung, maka untuk mencapainya harus melalui jalan berkelok dan naik turun. Sangat indah menurut saya. Melewati sawah yang berundak-undak seperti di Ubud. Belum lagi di beberapa titik, dari jalan yang yang berada di atas bukit kita bisa melihat langsung laut yang terhampar luas. Luar biasa sekali pemandangannya. Sayang sekali saya tidak sempat mengambil foto karena naik motor (suatu saat akan pergi ke sini lagi dan mengambil foto). Rasa gembira terus menghampiri saya melihat keindahan alam ciptaan Tuhan yang berada di Lampung Selatan ini. Setelah naik turun, jalanan akhirnya mulai landai dan bersisian dengan pantai. Tidak lama, kami sampai di Pantai Wartawan. Kami terperangah tak percaya. Pantai Wartawan ini keindahannya (menurut saya) terbalik 180 derajat dengan keindahan yang disuguhkan di sepanjang jalan menuju ke sini. Rasa kecewa menyergapi saya. Kendaraan yang masuk ke pantai penuh karang tanpa pasir ini dikenakan Rp 10 ribu. Tidak lama kami berada di sana, bahkan tidak sampai lima menit. Alasan saya tidak menyukai Pantai Wartawan ini adalah karena tidak ada pasir, apalagi pasir putih di pantai ini. Yang ada hanya karang-karang dan sangat ramai warga yang sedang mandi di sana sambil bermain-main. Pantainya juga agak kotor dengan pasir hitam dan sampah. Beberapa meter dari pantai ini juga ternyata tempat berlabuh kapal pengangkut batu-batu besar dari gunung. Semakin membuat jelek pantai ini (sekali lagi menurut saya). Yang mungkin bisa menjadi kelebihan pantai ini adalah lautnya yang tidak berombak dan terdapat sumber air panas di pinggir pantai. Selain itu, terdapat juga air terjun yang berada tidak jauh dari pantai ini.
Akhirnya kami bergegas pergi menyusuri jalan yang mengitari Gunung Rajabasa. Di sepanjang jalan ini, menurut saya lebih banyak pantai yang lebih bagus dari Pantai Wartawan. Setelah beberapa menit berkendara, kami akhirnya sampai di Pantai Banding Resort dan membayar tiket Rp 5 ribu per orang (setelah menolak membayar tiket masuk dengan hitungan motor yang lebih mahal Rp 15 ribu). Begitu masuk, pemandangan yang disuguhkan di pantai ini sangat indah. Pantai Banding Resort yang berada di desa Banding ini memiliki pantai dengan pasir yang cukup putih dan batu-batu yang cukup besar. Yang paling menakjukan menurut saya adalah pemandangan Anak Gunung Krakatau, Pulau Sebuku dan Sebesi yang terlihat dari pantai ini. Pulau Sebuku dan Sebesi sendiri merupakan situs diving dan snorkeling di Lampung. Selain itu, Pantai Banding Resort sangat cocok bagi yang suka berenang di pantai. Lautnya sangat tenang. Bahkan sekitar 20 meter dari bibir pantai, kedalaman air hanya sedada orang dewasa dan airnya sangat jernih. Saya bahkan bisa melihat kaki saya di kedalaman 1.5 meter. Berbeda dengan air laut di Anyer yang sudah keruh atau di Pantai Merak Belantung kemarin. Ketika berenang di atas ban menikmati air laut, pemandangan pun sangat menakjubkan. Di sisi pantai terdapat view Gunung Rajabasa, sedangkan di depannya Gn. Anak Krakatau dan Pulau-pulau sekitarnya. Sangat menakjubkan. Belum puas rasanya berenang ketika senja mulai menjelang. Tetapi, kami sudah harus beranjak karena akan pergi ke Pantai Bom (Pelabuhan Nelayan) di Kalianda yang masih berada di balik Gunung Rajabasa untuk melihat sunset. Pelabuhan kapal nelayan ini juga menjadi tempat wisata kuliner setempat. Jajanan di sini sangat murah menurut saya dan rasanya juga enak. Seperti siomay yang dijual dengan harga Rp 5 ribu per porsi, es air tebu dijual dengan harga Rp 3 ribu per cup. Tempat ini sangat bagus untuk anda yang ingin menikmati senja dengan pemandangan pantai pasir putih di kejauhan, Gn. Anak Krakatau dan pulau-pulau di sekitarnya, Gn. Rajabasa di belakangnya, serta perahu-perahu nelayan yang sedang sandar dan beberapa akan berangkat melaut. Luar biasa.
Saya pun berenana akan kembali menjelajahi Lampung suatu saat nanti. Tujuan saya berikutnya adalah Pulau Sebuku dan Sebesi serta Gunung Anak Krakatau, dan yang paling menawan adalah Teluk Kiluan. Bismillah.

Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, Lampung ini potensi pariwisata alamnya sangat bagus. Banyak sekali pantai, gunung air terjun, dsb terdapat di provinsi paling timur Pulau Sumatera ini. Seperti pantai di Teluk Kiluan, Pulau Sebuku dan Sebesi, Gunung Anak Krakatau. Namun, aksesibilitas menjadi kendala utama menuju lokasi-lokasi menakjubkan ini. Sulitnya akses menuju lokasi wisata menghambat pertumbuhan kunjungan wisatawan. Diharapkan pemerintah Lampung menyadari besarnya potensi wisata ini dan membangun fasilitas wisata dan juga sarana transportasi dan jalan yang memadai. Semoga.