Liran, atau penduduk lokal biasa menyebutnya dengan Pulau Lirang. Mayoritas penduduk Indonesia (mungkin) tidak tahu keberadaan pulau ini. Begitu pula saya (pada awalnya). Saya baru mengetahui pulau ini ada ketika akan ditempatkan di pulau tersebut dalam program Kuliah Kerja Nyata (K2N) Universitas Indonesia pada tahun 2011. Pulau ini menjadi salah satu dari 11 titik pulau-pulau terdepan Indonesia yang menjadi lokasi K2N. Selain Pulau Liran, peserta K2N juga ditempatkan di beberapa tempat seperti Kecamatan Badau Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, Kepulauan Morotai Maluku, Kabupaten Raja Ampat dan Kecamatan Wasior di Papua Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara Perbatasan Indonesia-Timor Leste, Pulau Palue, Alor, dan Ende yang berada di NTT.
Secara administratif, Pulau Liran berada di kecamatan Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Namun, secara geografis pulau kecil ini jauh dari pusat pulau Maluku, Ambon. Pulau ‘terisolir’ ini lebih dekat ke provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini menjadi salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste (Pulau Atauro, dahulu Pulau Kambing).
Untuk mencapai pulau ini, tidak mudah. Setelah melalui masa ‘penggemblengan’ baik secara fisik maupun mental selama beberapa hari di Koarmatim (Komando Armada Indonesia Kawasan Timur) TNI AL yang berada di Surabaya, para peserta K2N UI 2011 yang berjumlah sekitar 150-an mahasiswa yang telah dibagi dalam beberapa kelompok dan titik, diterbangkan ke masing-masing titik yang telah ditentukan pada saat di kampus Depok. Saya dan beberapa peserta K2N UI yang ditempatkan di Pulau Liran terlebih dahulu harus pergi ke Kupang, Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan pesawat terbang. Selain peserta titik Pulau Liran yang berjumlah sekitar 19 orang (pada awalnya 20 orang, satu orang mengundurkan diri karena suatu alasan), terdapat pula peserta lainnya yang ditempatkan di pulau-pulau sekitar NTT seperti Pulau Ende, Flores, Alor dan Palue.
---
Sedikit bercerita, program K2N UI ini tidak diwajibkan kepada para mahasiswa UI, seperti program kuliah kerja nyata pada umumnya di kampus lain yang mewajibkan setiap mahasiswa untuk ikut serta. Di UI, bagi mahasiswa yang ingin terlibat dalam program K2N, terlebih dahulu harus melewati tahapan seleksi yang terdiri dari seleksi essay, wawancara, dan karantina di Koarmatim atau Koarmabar. Essay yang ditulis biasanya mengangkat isu-isu tentang pulau-pulau terdepan dan perbatasan, baik isu ekonomi, sosial-politik, hukum, budaya, pariwisata, dll. Saya sendiri pada saat itu membahas tentang sengketa kepemilikan Pulau Berhala antara Pemerintah Kepulauan Riau dan Pemerintah Jambi.
----
Dini hari, setelah selesai packing barang kami berangkat menuju Bandara Juanda disebabkan oleh jadwal penerbangan pagi, sekitar jam 7 pagi. Setelah terbang selama 2 jam dari Bandara Juanda Surabaya, kami akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara El Tari (setelah mengalami turbulensi di atas Kupang). Saya dan rombongan kemudian pergi dengan menggunakan angkutan umum lokal (bis 3/4). Sebagian peserta langsung menuju ke Kabupaten Timor Tengah Utara yang masih berada di Pulau Timor, yang berbatasan langsung dengan distrik Oecussi, Timor Leste. Sedangkan kami langsung menuju pangkalan KRI di Kupang. Ya, KRI!!! it’s an abbreviation for Kapal Perang Republik Indonesia. Saya sedikit bangga juga karena tidak semua orang bisa menaiki kapal khusus ini. Kami para peserta K2N mendapatkan kesempatan untuk menumpang KRI Teluk Mandar 514 yang akan mengantarkan kami ke masing-masing titik selama beberapa hari ke depan.
Tujuan pertama kami adalah Maumere yang berada di Kabupaten Sikka. Sore hari, KRI akhirnya tarik jangkar dari pelabuhan. “It’s gonna be a fantastic trip” pikir saya dalam hati. I was so excited karena ini merupakan perjalanan pertama saya ke wilayah timur Republik tercinta ini. Mengarungi samudera biru yang katanya sangat indah. Hyperbole? Nope. You have to go there to prove it by yourself. Surely, you will easily fall in love with the landscape and with the people as well. Benar saja, setelah kapal mulai mengarungi lautan luas dan matahari mulai tenggelam, Teletubbies berpamitan –no, kidding. It was a distraction—. Langit malam hari di tengah laut sangat indah. Ribuan bintang-gemintang tanpa malu-malu menampakkan kerlipnya. Moreover, here from the ocean you’ll see milky way and galaxies directly over your head. Hal yang langka bagi langit di kota. Jangankan kota sebesar Jakarta atau Surabaya yang sudah sarat polusi, kota kecil seperti Depok saja sudah sulit melihat langit cerah penuh bintang di malam hari.
Setelah selesai menaruh barang-barang keperluan K2N dan mendapatkan pengarahan dari kapten kapal, kami mulai bersantai menikmati sunset pertama dan langit malam yang indah. Peserta laki-laki ditempatkan di geladak kapal (tentunya dipasang tenda tentara demi keamanan) karena kabin ditempati oleh peserta perempuan. Kami para peserta mengisi waktu dengan bercengkarama, bahkan berjoget dan bernyanyi. Malam pun berlalu.
Keesokan harinya, KRI yang kami tumpangi mulai bersandar di Pelabuhan Laurens Say, Maumere. —Fyi, di kejauhan tampak sebuah patung (mungkin Patung Yesus) di atas gunung di Kota Maumere.— Para peserta K2N yang ditempatkan di Pulau Ende turun di Maumere dan kemudian melanjutkan dengan angkutan darat menuju lokasi K2N. –Dengar-dengar dari tentara, mereka akan melewati danau tiga warna, Kelimutu yang tersohor itu—. Mereka mulai unload barang dibantu oleh para peserta K2N yang lain. Para peserta yang terdiri dari 15 orang perempuan dan dua orang laki-laki ditambah dua orang pembimbing tersebut disambut oleh tentara dan juga pemerintah lokal. Setelah melakukan upacara pelepasan peserta diiringi lagu Indonesia Raya (dan drama tangisan), kapal kembali harus berlayar. Sedih juga rasanya berpisah untuk sementara waktu dengan kawan-kawan senasib sepenanggungan ini. Ceilah. Ada sedih, ada juga bahagia. Yin and Yang. Kabar bahagia tersebut adalah dua orang dosen pembimbing kami dari Universitas Nusa Cendana, Kupang akhirnya bergabung dengan kami kelompok Pulau Liran.
Next stop was Palue. Ya, pulau kecil yang berada di utara Flores ini menjadi tujuan kami berikutnya. Setelah melalui perjalanan melintasi laut lepas yang menakjubkan, kami akhirnya sampai di Pulau Palue. Sayangnya, KRI tidak dapat berlabuh di pulau Palue karena tidak adanya pelabuhan untuk kapal sebesar KRI di pulau yang terdapat gunung berapi aktif, yaitu Gunung Rokatenda tersebut. Terpaksa, kapal melemparkan jangkar agak jauh dari pulau guna menghindari karam. Para peserta yang ditempatkan di Pulau Palue dan berjumlah belasan mahasiswa serta dua orang dosen pembimbing tersebut akhirnya dijemput dengan menggunakan perahu motor milik penduduk setempat. Seperti biasa, setelah pelepasan peserta kapal kemudian kembali berlayar. Pada saat kapal mulai bergerak, tampak di kejauhan beberapa ekor lumba-lumba berenang di sekitar pulau Palue.
The third stop would be Alor. Entah sudah berapa hari mengarungi lautan luas. Saya yang awalnya merasakan mabuk laut, sudah mulai terbiasa dengan keadaan di dalam kapal. Kami para peserta laki-laki yang pada awalnya ditempatkan di geladak kapal, dipindahkan ke dalam kabin kapal. Hilang mabuk laut, datang penyakit lain. Ya, ketika masuk ke bagian dalam kapal dan membayangkan akan tidur di tempat tidur bertingkat di ruangan sempit dalam kapal, claustrophobia pun mulai menyergapi saya. Awalnya saya berusaha untuk menyembunyikan hal tersebut dengan berusaha beradaptasi dan mengurangi ketakutan saya akan ruangan sempit di dalam kapal, namun ketakutan tersebut malah semakin bertambah. Beruntung, saya diizinkan oleh kepala kapal untuk tidur di sebuah ruangan di atas kapal (semacam ruang UKS untuk tentara yang sakit, dengan beberapa kasur empuk :D) dekat dengan kamar-kamar tentara. Alhasil, malam itu saya sendirian tidur di kamar tersebut.
Keesokan harinya, kami mulai memasuki wilayah perairan Alor. Salah satu hal yang menakjubkan dari perjalanan ini adalah saat melewati Pulau Lembata yang terkenal akan tradisi pemburuan ikan paus (tahu dari acara Jejak Petualang di Trans 7). Selain itu, selama perjalanan tersebut kami disuguhi oleh “atraksi alami” lumba-lumba yang berenang mengikuti kapal yang kami tumpangi. Saya pun sibuk mengambil video lumba-lumba yang berenang beriringan dengan kapal kami.
Menjelang siang hari, KRI mulai memasuki Pelabuhan Kalabahi, Alor. Di sini, kami mengantarkan para peserta yang akan ditempatkan di dua titik di pulau Alor, yaitu di Pulau Pantar dan Desa Ombai. Luar biasa sekali sambutan masyarakat setempat yang berada di pelabuhan. Mereka begitu ramah menyapa kami dengan senyum ramah. Beberapa ada yang menanyakan maksud dan tujuan kami berada di pulau tersebut, dan bahkan ada yang “menyuruh” kami untuk tidak lupa membawa oleh-oleh khas Alor. Semua peserta K2N, termasuk kami yang akan ditempatkan di titik lain, kemudian diajak menuju kantor bupati Alor sebagai bentuk penerimaan pemerintah daerah terhadap para peserta K2N. Jarak dari pelabuhan menuju kantor bupati tidak begitu jauh. Kami pun diangkut dengan menggunakan mobil-mobil dinas pemerintah menuju kantor bupati. Di kantor tersebut, kami diterima langsung oleh bapak bupati dan disuguhi makanan khas Alor seperti kenari, dan jagung titi.
Setelah acara penerimaan peserta K2N di kantor bupati, kami mulai beranjak untuk mengantarkan peserta yang akan ditempatkan di Pulau Pantar. Para peserta ini diangkut dengan menggunakan perahu motor kecil menuju Pulau yang berada di sebelah barat Pulau Alor tersebut. Luar biasa sekali, selain masyarakatnya yang sangat ramah, Alor juga dilimpahi keindahan alam dengan lautnya sangat jernih dengan ikan warna warni. Konon katanya, keindahan Alor tidak kalah jika dibandingkan dengan keindahan Kepulauan Karibia, atau Raja Ampat. Terdapat banyak situs-situs penyelaman dan sayangnya kebanyakan resort di pulau ini dikuasai oleh asing. Cerita lama.
Akhirnya peserta K2N yang tersisa tinggal kami ber-19 yang akan ditempatkan di titik Pulau Liran. Sambil menunggu kapal berangkat, kami menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di pasar yang berada di dekat pelabuhan. Beberapa teman saya membeli kacamata hitam untuk digunakan di Pulau Liran. Di daerah timur, menggunakan kacamata hitam berguna untuk menghindari sinar matahari yang sangat menyengat yang dipantulkan oleh air laut. Setelah puas jalan-jalan dan berfoto, kami akhirnya kembali ke kapal. Sore harinya kapal berangkat.
Our last stop was Pulau Liran.Pulau kecil ini berbatasan dengan Pulau Alor di sebelah barat, Pulau Wetar di sebelah timur, Laut Banda di sebelah utara, dan Pulau Atauro-Timor Leste di sebelah selatan.
Ketika dalam perjalanan, bahkan sejak dari Depok, ketua pelaksana lapangan K2N, yang akrab dipanggil Mbak Uci, selalu mengingatkan kami bahwa wilayah perairan Liran merupakan salah satu wilayah yang sulit untuk dicapai dan akan selalu ada kemungkinan untuk kami dipindahkan ke titik lain di Pulau Timor yang aksesnya lebih mudah dijangkau. Sepertinya hal tersebut semakin mendekati kenyataan ketika kapten kapal KRI Teluk Mandar 514 yang kami tumpangi memberitahukan bahwa wilayah perairan sekitar Pulau Liran kemungkinan sulit untuk dilalui karena arus yang sedang kencang dan angin yang tidak menentu (khas perairan timur Indonesia). Rasa kecewa pun mulai menghinggapi kami membayangkan bahwa dari awal kami akan ditempatkan di sana lalu seketika berubah, dan juga membayangkan warga Pulau Liran yang sudah menanti kami. Perasaan kecewa tersebut berkurang ketika kapten kapal mengatakan bahwa ia akan berusaha agara dapat mencapai Pulau Liran. Rasa was-was tetap menghinggapi dan kami pun terus berdoa agar diberikan kelancaran.
Keesokan harinya, KRI mulai memasuki perairan Liran. Keajaiban Tuhan menyertai kami. Perairan di sekitar Pulau Liran yang sebelumnya tidak bersahabat, pada pagi ini sangat tenang. Meski demikian, kami tidak dapat bersandar di pulau karena tidak adanya pelabuhan. Terpaksa kami harus dijemput dengan ketiting (perahu nelayan tradisional). Sambil menunggu dijemput, kapten memberitahukan kepada kami bahwa pulau yang tampak tidak jauh di dekat kapal kami adalah Pulau Atauro (dahulu Pulau Kambing) yang merupakan bagian dari kedaulatan negara Timor Leste. Tidak lama, kapal penjemput datang. Kami dibagi ke dalam tiga kelompok: dua perahu nelayan yang diisi oleh kampi para mahasiswa dan dosen pembimbing, dan satu perahu karet milik TNI AL yang diisi oleh ketua K2N dan tentara. Tampak dari kapal dusun Manoha dengan pantai pasir putihnya yang sangat indah. Namun wilayah ini ombaknya sangat besar dan lautnya dalam. Setelah menyusuri perairan pulau, akhirnya kami sampai di desa Ustutun, gerbang masuk Pulau Liran. Warga pun sudah menunggu dan menyambut kami dengan upacara adat (tari-tarian). Alhamdulillah, akhirnya sampai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar