Kamis, 30 Oktober 2014

Oh Ibu Susi

Ibu Susi, Sang Menteri “kontroversial”
Dari kemaren juga bingung sih, yang dikritisi ‘kan merokoknya Bu Susi di depan publik (dan tatonya), bukan masalah agama Bu Susi. Tapi yg jadi bahan perbandingan ujung-ujungnya nyerempet ke masalah agama (malah cenderung memojokkan dan menjelekkan salah satu agama, as always, dengan menggunakan oknum-oknum tertentu). Apa ini bukan SARA namanya? Coba kalau yang dijadikan bahan perbandingan (bahkan dijelek-jelekkan) adalah agama lain, pasti bakal jadi heboh karena isu SARA. Jadi ada 2 standard suatu hal bisa menjadi SARA atau tidak di sini.

Jad inget sebuah “joke” di Barat sana. Ketika oran-orang2 melakukan lelucon terhadap orang-orang kulit hitam, pasti dibilang rasis. Tapi ketika orang-orang bikin lelucon tentang orang kulit putih, ya hal tsb dianggap sebagai lelucon murni. Ada perbedaan (double standard) mengenai rasis di sini. Yang seharusnya memakai standard yang sama.

Saya suka Bu Susi. Bahkan jauh sebelum beliau diangkat jadi menteri. Bahkan sebelum beliau terkenal dengan “aksi sosial” beliau melalui Susi Air, perusahaan penerbangan yang beliau rintis untuk mengjangkau daerah-daerah terpencil. Saya ingat, waktu saya SD atau mungkin awal SMP sekitar tahun 2002/2003, sebuah acara di tv swasta meliput profil Bu Susi sebagai pengusaha di bidang perikanan yang sukses. Jatuh bangun beliau dalam merintis usahanya dari nol sampai bisa sesukses saat itu. Sosok beliau yang seorang wanita, seorang ibu yang pekerja keras, membuat saya mengagumi sosok Bu Susi.

Saya kagum dengan beliau. Walau hanya lulusan SMP, tapi bisa sesukses sekarang (bahkan sangat sukses). Bayangkan kalau Bu Susi adalah seorang yang berpendidikan tinggi dengan berbagai gelar akademik disandang? Bisa-bisa jadi presiden.

Kembali ke topik yang membuat heboh publik tanah air, terutama di media sosial akhir-akhir ini (timeline fb menjadi arena “pertarungan” antara yang pro dan kontra Bu Susi, tapi yang paling menjijikkan bagi saya adalah orang-orang  yang akhirnya berujung pada menjelek-jelekkan agama. Untung teman-teman di Path saya adem ayem ga ada yg bahas masalah beginian). Urusan merokok (atau bahkan bertato, kawin cerai, atau apa lah itu) adalah urusan Bu Susi (dan menjadi tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan Tuhannya). Akan tetapi, ketika ia melakukan hal tersebut di depan publik, tentu hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Di negara-negara Barat yang super bebas pun tidak membenarkan seorang pejabat publik merokok di depan umum, apalagi sampai terliput oleh kamera pewarta. Apalagi beliau adalah seorang menteri yang seharusnya menjadi panutan.
Mungkin, kalau Bu Susi yang sedang merokok tidak tertangkap kamera wartawan dan tidak diliput, tentu tidak akan seheboh sekarang ini. Yang saya tahu (dari berbagai sumber berita), Bu Susi merokok ketika acara pelantikan menteri telah selesai dilaksanakan. Dan hal tersebut dilakukan di lingkup yang sifatnya lebih “privat” (karena yang ada di Istana saat itu toh orang-orang tertentu dan mayoritas sudah dewasa yang mempunyai akal). Tetapi ketika hal tersebut diliput oleh wartawan dan disiarkan, tentu hal ini sudah menjadi ranah publik. Seharusnya Bu Susi sadar masih berada di wilayah dimana semua mata tertuju padanya. Seharusnya Bu Susi lebih bisa menahan diri untuk tidak dulu merokok. Pun oknum wartawan yang “iseng” tersebut harusnya bisa memilah dan memilih mana hal-hal yag layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Kecuali wartawan tersebut memang selalu buntu ide untuk mencari bahan pemberitaan yang lebih positif nan menarik.

Terlepas dari itu semua, semoga orang-orang bisa lebih bijak dalam menanggapi sebuah isu, lebih cerdas dalam membandingkan suatu hal. Bukan malah menjelek-jelekkan agama tertentu (padahal isunya bukan isu agama). Parameter yang digunakan setidaknya harus sebanding.

Sekali lagi, ini tulisan yang bersifat subjektif, menurut pendapat pribadi saya.

-Selamat bekerja Bu Susi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar