Kamis, 06 November 2014

Rectoverso - Cinta Platonis

“Kisah aku, kisah aku tentang seorang sahabat aku yang lahir  di negeri orang. Dia hidup dalam keluarga yang sangat sederhana. Setiap kali ibunya harus menyediakan ayam sebagai lauk, ibunya mesti pergi ke pasar untuk membeli ayam. Tapi cuma bagian punggungnya saja. Cuma itu yang mampu ia beli. Akhirnya sahabat aku itu pun tumbuh dewasa dengan hanya mengetahui kalau ayam itu hanya punya bagian punggung. Dia ga pernah tahu ada dada, paha atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi dia mengenai ayam.
Kalau aku, aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya sanggup aku gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang hanya sanggup aku nikmati bayangannya. Tapi tak akan pernah bisa aku miliki. Seseorang yang hadir bagaikan bintang jatuh. Sekelebat lalu menghilang begitu saja. Tanpa sanggup tangan ini mengejar. Seseorang yang hanya bisa aku kirimi isyarat sehalus udara langit awan atau hujan. Tapi sekarang justru menurut aku sahabat aku itu orang yang paling bahagia. Dia bisa begitu menikmati punggung ayam karena cuma itu yang dia tahu. Sedangkan aku, aku justru orang yang paling bersedih karena aku tahu apa yang ga akan pernah bisa aku miliki.
Aku sudah tahu warna matanya. Cokelat muda. Dan itu lebih dari cukup” – Alya, Hanya Isyarat, Rectoverso (01:15:10)
Rectoverso: Cinta yang Tak Terucap, merupakan sebuah film Indonesia yang diadaptasi dari sebuah noverl dengan judul yang sama karya Dewi “Dee” Lestari (she’s one of my favorite female authors since I was in high school, beside Djenar Maesa Ayu and Oka Rusmini). Dalam film tersebut terdapat lima cerita yang ditulis dan disutradarai oleh lima orang berbeda (omnibus). Hanya Isyarat – Happy Salma, Curhat Buat Sahabat – Olga Lidya, Cicak di Dinding – Cathy Saron , Firasat – Rachel Maryam, dan Malaikat Juga Tahu – Marcella Zalianty. Seperti judulnya, film ini menggambarkan cinta yang dipendam kepada seseorang. Namun, yang paling saya suka dan ingin saya bahas di sini adalah Hanya Isyarat yang diperankan oleh Amanda Soekasah sebagai Alya, Hamish Daud sebagai Raga, dan Fauzi Baadilla sebagai Tano, serta Rangga Djoned sebagai bayu, dan Dali yang diperankan oleh Prianggadi Adityatama . Cerita ini disutradarai oleh Happy Salma dengan mengambil latar di pantai (place I love the most). Cerita ini menurut saya satu-satunya cinta platonis yang paling murni dibandingkan empat cerita lainnya. Apa itu cinta platonis? Apa bedanya dengan cinta biasa? Itu lah yang akan saya bahas pada postingan kali ini.
Setiap manusia pasti pernah merasakan jatuh cinta. Ya, cinta merupakan salah satu anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Namun, pernahkah anda mengalami yang namanya cinta diam-diam? Cinta yang hanya mampu anda pendam sendiri. Walau terkadang sakit, tapi terkadang anda menikmatinya. Ya cinta ini disebut juga dengan cinta platonis.
Sepenggal dialog dalam film Rectoverso di atas menggambarkan apa yang sering disebut dengan cinta platonis.
Kalau merujuk ke kamus, kata platonis (platonic) mempunyai beberapa arti, salah duanya adalah:
Platonic (ajd):
  • Of or associated with the Greek philosopher Plato or his ideas.
  • Confined to words, theories, or ideals, and not leading to practical action.
Kata platonis sendiri mengacu pada sebuah konsep yang pertama kali dicetuskan oleh seorang  filsuf Yunani kuno, Plato. Maybe that’s the reason why it’s called Plato-nic. Konsep ini sendiri merupakan pandangan atau gagasan Plato mengenai dunia idea, sebuah dunia ideal yang hanya ada di dalam pikiran kita saja. Karena pada kenyataannya, tidak ada satu hal pun di dunia realitas ini yang sempurna atau ideal.
Bagi Plato, cinta tak seharusnya diucapkan. Ketika hal tersebut diwujudkan ke dalam dunia realitas, maka hal tersebut bukan lagi cinta sejati yang murni dan suci. Bagi Plato, cinta dalam diam adalah prinsip utama sebuah cinta suci. Kalau diungkapkan, itu bukan cinta lagi, namun hanya sebuah hasrat.
Lalu apa bedanya dengan cinta ‘biasa’?
Cinta menurut Sigmun Freud, pakar psikologi analitik dari Jerman, menyatakan bahwa cinta merupakan suatu alat untuk memenuhi kebutuhan seksual. Sedangkan menurut Erich Fromm, seorang Neo-Freudian, yang mengatakan  bahwa cinta adalah suatu kebutuhan dasar manusia untuk keluar dari kesepian dan kesendirian.
Hal ini tentu berbeda dengan cinta platonis. Cinta platonis memendam sendiri perasaannya tanpa diketahui orang lain. Cinta platonis ini, kalau bisa dibilang, lebih banyak sedihnya dibandingkan dengan bahagianya. Ya, namanya juga cinta dipendam.
Ada banyak alasan mengapa seseorang bisa mengalami yang namanya cinta platonis ini. Alasan yang paling utama adalah karena takut. Takut ketika diungkapkan, hasilnya tidak sesuai harapan. Karena cinta yang selalu dibayangkan itu adalah sesuatu hal yang ideal, walaupun kadang menyakitkan karena hanya bisa membayangkan untuk bersama orang yang dicintai tersebut tanpa ada yang tahu.
Nah kembali lagi ke Rectoverso. Mengapa saya berani bilang kalau cerita Hanya Isyarat merupakan yang paling platonis menurut teori cinta platonis yang telah dijelaskan di atas (untuk lebih jelasnya, anda harus menonton sendiri)
Penulis sendiri pernah merasakan cinta platonis ini. and I think everybody does,at least once in their life. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar