Kamis, 09 Januari 2014

Pulau Liran, Maluku Barat Daya

Pulau Liran, Maluku Barat Daya.

Setelah pada postingan sebelumnya saya menceritakan tentang perjalanan saya hingga akhirnya sampai di Pulau Liran (penduduk lokal menyebutnya Pulau Lirang) pada tahun 2011, maka pada postingan kali ini saya akan memberi sedikit gambaran tentang keadaan salah satu pulau terdepan Indonesia yang secara administratif menjadi bagian dari teritori Propinsi Maluku.

Menjalani program Kuliah Kerja Nyata (K2N) menjadi salah satu bentuk pengabdian seorang mahasiswa terhadap masyarakat. Saya merasa beruntung sekali dapat menjadi bagian kecil dari program K2N UI 2011 yang menempatkan para mahasiswanya di pulau-pulau terluar Indonesia. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan pula ketika  saya ditempatkan di Pulau Liran –nama yang baru pertama kali saya dengar waktu itu (2011, red)—salah satu pulau terselatan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Pulau Atauro, sebelah utara Dili, Ibukota Timor Leste.

Ketika saya mengetahui bahwa saya ditempatkan di pulau ini, yang saya lakukan pertama kali adalah google-ing. Namun, minim sekali informasi yang tersedia mengenai Pulau Liran di laman mesin pencari raksasa tersebut. Berbekal informasi yang kurang memadai tersebut pula, kami mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dan hal apa yang harus kami lakukan di pulau kecil tersebut. Hingga akhirnya kami, saya dan 18 peserta K2N UI 2011 dan dua orang dosen pembimbing dari Universitas Nusa Cendana Kupang, benar-benar menginjakkan kaki di pulau kecil ini.
Seperti yang telah dijelaskan pada postingan sebelumnya bahwa Pulau Liran merupakan salah satu dari beberapa pulau terluar Indonesia yang berada di Kecamatan Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Propinsi Maluku. Hal pertama yang muncul di benak saya ketika mendengar kata Maluku adalah letaknya yang berada di bagian Utara Indonesia. Namun, setelah melihat Google-Map letak Pulau Liran ini jauh dari pusat Maluku. Pulau kecil yang berada di sebelah Barat Pulau Wetar ini letaknya lebih dekat ke Propinsi NTT dan Negara Timor Leste, yang menjadikannya sebagai salah satu dari 92 pulau terdepan Indonesia.

Pulau Liran dengan luas ± 45 km persegi ini terdapat satu desa dan satu dusun, yaitu Desa Ustutun dan Dusun Manoha, serta (secara informal ada) sebuah desa kebun bernama Uspisera. Jarak antara Desa Ustutun yang berada di Sisi Timur Pulau Liran dan Dusun Manoha yang berada di Selatan adalah ±8 km. Hanya terdapat beberapa motor (yang bisa dihitung dengan jari) dan satu buah truk di pulau ini. Jadi, untuk pergi antar desa kita dapat mengandalkan kaki kita sendiri saja (sediakan alas kaki yang kuat dan banyak, karena mudah sekali rusak akibat jalanan berbatu tajam dan panas).
Berada di Pulau Liran selama hampir satu bulan lamanya membuat saya cukup tahu sedikit banyak tentang pulau ini. Fasilitas umum yang tersedia di Pulau Liran cukup baik –walaupun tidak bisa dikatakan benar-benar memadai—. Seperti terdapat Puskesmas dengan satu dokter PDT dan beberapa petugas kesehatan, Sebuah gereja untuk mayoritas penduduk yang beragama nasrani, sebuah musholla, fasilitas pendidikan hanya tersedia dari SD – SMP yang terdiri dari dua SD dan satu SMP, balai desa, lapangan voli, Pos TNI AL dan AD sebagai pengawal perbatasan, sebuah dermaga kapal yang belum jadi (2011, red), terdapat sebuah mercusuar peninggalan Belanda di atas bukit di Tanjung Manoha, serta sebuah tugu yang berfungsi sebagai penanda wilayah Republik Indonesia sekaligus menjadi penanda perbatasan. Fasilitas umum yang dapat dikatakan sangat memprihatinkan adalah ketersediaan listrik di Pulau Liran. Sebenarnya pemerintah telah memberikan alat untuk listrik tenaga surya pada tiap-tiap rumah, namun karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana penggunaan alat tersebut menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat. Alhasil, alat tersebut menjadi seperti tidak berguna. Untuk kebutuhan listrik, akhirnya masyarakat hanya mengandalkan genset yang dimiliki oleh hanya segelintir warga mampu. Pasokan listrik dari genset tersebut hanya beroperasi pada malam hari saja. Harga bahan bakar minyak (dalam hal ini solar sebagai bahan bakar genset dan kapal nelayan) yang sangat mahal juga menjadi kendala. Pada tahun 2011, ketika harga BBM Rp. 4500, di pulau ini harganya sudah mencapai Rp. 15 – 20 ribu per liter.  The last but, of course, not least ‘masalah’ yang dihadapi warga Pulau Liran adalah sangat minimnya sarana komunikasi. Tidak ada BTS untuk telepon selular di Pulau ini. Hal tersebut menjadi faktor lain penyebab keterasingan Pulau Liran. Selama satu bulan kami berada di Pulau ini, untuk dapat menggunakan HP kami harus berjalan hampir 8km dari tempat tinggal kami di Desa Ustutun ke Dusun Manoha. Sinyal yang timbul tenggelam pun berasal dari operator selular negara tetangga, Timor Telekom yang biaya sms dan teleponnya susah diungkapkan dengan kata-kata sangking mahalnya karena roaming internasional. Sedangkan televisi sebagai sarana hiburan hanya dimiliki oleh sangat sedikit warga di Pulau ini (‘dimanfaatkan’ oleh warga untuk menonton sinetron remaja picisan Arti Sahabat yang-sangat-Jakartanisasi, I mean, sinetron yang menggambarkan kehidupan Jakarta yang serba wah, yang ‘secara tidak sadar’ membuat iri warga Pulau yang hidup dengan segala keterbatasan. Screwball Sinetron).

Seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat Pulau Liran juga mempunyai bahasa dan budayanya sendiri. Masyarakat Pulau Liran mengenal bahasa Ili’un sebagai bahasa daerah dan terdapat sebuah cerita tentang asal usul Pulau Liran. Pulau Liran dapat dikatakan merupakan sebuah daerah irisan budaya serta adat-istiadat. Selain penduduk asli Pulau Liran, terdapat pula orang-orang yang berasal dari daerah sekitar seperti Maluku, Alor, dan bahkan Atauro, Timor Leste yang menetap di Pulau Manise ini. Sehingga terjadi percampuran budaya dan adat melalui perkawinan, dan melalui interaksi kultur lainnya. Adat pela darah, tari cakalele, tarian dan nyanyian parutu dan botu, alat musik tifa, kemudian makanan dan minuman tradisional seperti sopi, sambal colo, kaleso, kue rambut, sagero, dan masih banyak lagi lainnya merupakan budaya Liran yang juga terdapat di daerah-daerah lain di Maluku dan NTT. Penduduk Liran biasanya melakukan sebuah upacara khusus penyambutan bagi orang-orang yang datang ke Pulau Liran, tentu dengan tujuan khusus. Pada saat kami sampai di Pulau Liran, kami disambut oleh tarian dan nyanyian selamat datang dari warga, kemudian kami dibawa ke balai desa. Sebagai bentuk penerimaan penduduk lokal terhadap tamu, biasanya para tamu akan disuguhi sopi (minuman tradisional beralkohol) dan disertai teriakan ‘Kalwedo’.

Pulau ini didominasi oleh mangrove dan hutan sabana dengan kontur berbukit yang banyak ditumbuhi pohon koli, bahan utama Sopi. Selain itu, terdapat garis pantai dengan pasir putih yang cukup panjang. Hamparan pasir putih yang luas, terumbu karang yang luas dan masih alami terjaga sangat bagus untuk spot snorkeling atau divimg, terutama di daerah sekitar Uspisera. Kemudian bukit sabana, menjadi daya tarik tersendiri yang dimiliki Liran. Namun, seperti wilayah-wilayah NTT dan Maluku lainnya, suhu udara pada siang hari di Pulau Liran sangat panas.

Bentuk mata pencaharian yang banyak dilakukan warga di Pulau Liran adalah pemanfaatan sumber daya laut seperti ikan dan rumput laut, serta berkebun singkong dan ubi (tidak ada sawah di sini). Hasil-hasil nelayan dan bertani tersebut kebanyakan dijual oleh warga ke Atauro. Aktifitas perniagaan dilakukan oleh warga untuk mendapatkan berbagai kebutuhan pokok dasar, seperti sembako, yang lagi-lagi harganya cukup mahal karena dibeli dari negara tetangga (padahal itu semua produk-produk Indonesia yang diekspor ke Timor Leste kemudian dijual ke Liran. Bayangkan berapa kali kenaikan harga produk yang harus dibayar warga Liran tersebut dari harga normal yang ada di Jakarta). Walaupun terkadang masyarkat Liran juga membeli berbagai kebutuhan dari Kupang dan kapal dagang yang berasal dari Bugis. Namun, kedatangannya pun hanya satu bulan sekali. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, warga harus membeli produk dari pulau terdekat yang ketersediaan barangnya cukup banyak, yaitu Atauro, Timor Leste.

Seperti itu lah sedikit gambaran tentang Pulau Liran. Selanjutnya hal yang akan saya ceritakan adalah mengenai apa saja yang kami, peserta K2N UI 2011, lakukan di Pulau Liran. Kami yang terdiri dari 19 mahasiswa dibagi ke dalam empat kelompok dan dibimbing oleh dua orang dosen pembimbing. Saya sendiri masuk ke dalam kelompok Pendidikan Khusus dan Pelayanan Khusus. Selama di Liran, kelompok kami bertugas untuk mengajarkan cara menulis dan membaca kepada warga-warga berkebutuhan khusus, orang-orang yang sudah lewat usia sekolah namun belum mampu membaca maupun menulis, termasuk orang tua. Sedangkan kelompok lainnya bertugas sesuai dengan program kelompok masing-masing. Seperti ada kelompok yang khusus mengadvokasi warga secara hukum, memberi pemahaman tentang kesehatan (sanitasi dll), membantu warga berwirausaha dan memanfaatkan sumber daya alam serta SDM yang ada secara mandiri, dan masih banyak lagi. Sebenarnya, kegiatan kami tidak terbatas pada program kelompok saja. Selain itu, kerja sama saling bantu membantu antar kelompok juga menjadi hal yang mutlak dilakukan. Pada akhir program, diadakan sebuah pentas seni yang menampilkan berbagai tari khas, lomba dari anak-anak sampai orang tua, dll.

Setelah semua ‘goal’ tercapai, kami kemudian mendirikan sebuah tugu K2N di Pulau Liran. Tentu saja dibantu oleh tentara dan warga dalam pembuatannya. Setelah hampir satu bulan berada di Pulau ini, tiba saatnya kami untuk pulang kembali ke Jakarta. Seharusnya, sebelum pulang ke Jakarta, kami harus melakukan presentasi terlebih dahulu di depan kepala daerah tempat kami mengabdi, entah itu camat atau bupati. Namun, karena wilayah Liran yang cukup sulit dijangkau yang membuat camat Wetar hanya sebentar melepas kami kemudian langsung pergi. Pada siang hari sehari sebelum kepergian, kami berpamitan dan bersalaman serta peluk perpisahan dengan warga yang diwarnai oleh drama tangisan. Pada malam harinya, diadakan ‘pesta’ perpisahan yang dibuat oleh warga di balai desa, seperti bernyanyi berjoget dan juga minum sopi. Saya pun mendapat beberapa souvenir dari warga berupa kain tenun khas NTT dan Timor Leste. Keesokan harinya kami bersiap-siap untuk kembali dijemput oleh KRI. Ternyata, di bibir pantai gerbang Desa Ustutun, sudah banyak sekali warga yang bersiap melepas kepergian kami. Untuk mencapai KRI yang berada jauh dari pulau, kami kembali diantar oleh warga dengan perahu ketinting. Sebelum naik ke kapal, kembali terjadi drama tangisan. Rasanya berat sekali meninggalkan warga yang sudah sangat baik menerima kami seperti keluarga.

O kanana o tamui, Liran.

Pantai Uspisera, Liran

Pulau Liran Tampak Dari Laut

Rumah di Dusun Manoha, Liran

Upacara di SD Kristen Ustutun, Liran

Menuju Pantai Uspisera, Liran

1 komentar: