Selasa, 14 Januari 2014

Kebebasan oleh Sartre

Bonjour à tous,

Akhirnya bisa nulis lagi di blog ini.
Pada kesempatan kali ini, saya akan menulis tentang konsep kebebasan yang dikemukakan oleh salah seorang pemikir besar Prancis, Jean-Paul Sartre dalam tulisannya yang berjudul “L’extentialisme est un humanisme atau Extentialism is humanism”.

Jean-Paul Sartre adalah seorang penganut filsafat ekstensialisme dari Prancis. Selain seorang filsuf, ia juga merupakan seorang sastrawan besar Prancis.
Ekstensialisme adalah pemikiran tentang modus keberadaan, kesadaran individu sebagai subjek. Dengan akal budi, manusia dapat menyadari eksistensinya (modus berada).

Sartre percaya bahwa eksistensi mendahului esensi (l’existence précède l’essence). Artinya, manusia lahir ke dunia, kemudian menjadi ‘sesuatu’. Sartre menganggap bahwa manusia seperti ‘terlempar’ begitu saja ke dunia, lalu akan menjadi apa manusia (individu) tersebut, tergantung dari pilihan yang ia ambil. Hal tersebut bertentangan dengan konsep yang terdapat dalam agama, yaitu manusia diturunkan ke dunia dengan tujuan. – Dan saya percaya bahwa manusia diturunkan ke dunia dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan (l’essence précède l’existence atau esensi mendahului eksistensi), baik itu untuk menebus dosa Adam dan Hawa, menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi, dan yang pasti untuk bersujud ke pada-Nya. Apakah manusia akan mengikuti esensi tersebut atau tidak, itu tergantung dari pilihan manusia (individu) sebagai mahluk bebas yang diberi akal dan pikiran. –
Yang membuat saya tertarik dengan pemikiran Sartre adalah konsep kebebasan yang dikemukan oleh Sartre. Manusia, sebagai mahluk yang paling sempurna, yang diberi akal dan pikiran, menurut Sartre mampu melakukan apa pun. Dalam pemikirannya, Sartre yang menegasikan (meniadakan) Tuhan. – meniadakan bukan berarti tidak mengakui adanya Tuhan –, menganggap bahwa manusia adalah subjek atas dirinya sendiri.

Yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa kita, sebagai mahluk ‘bebas’, harus bertanggung jawab atas semua pilihan yang kita ambil. Jangan pernah menyalahkan orang lain (mauvaise foi) karena sesungguhnya kita mempunyai pilihan yang bebas.

Pantai

Tiba-tiba teringat sepenggal puisi yang dibacakan oleh Dian Sastro dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang berbunyi:

Ku berlari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi...

Kenapa pantai? Kenapa tidak gunung? Mungkin karena dibutuhkan perjuangan ekstra untuk bisa sampai ke gunung. Jadi, dipilihlah pantai yang relatif lebih mudah untuk dicapai. *Asal*

Tapi, bagi saya pantai adalah tujuan favorite. Air laut, ombak dan pasir pantai adalah media untuk saya menyembuhkan luka. Baik luka fisik maupun luka emosional.
Memandang cakrawala tanpa batas, harmonisasi antara desiran ombak dan desau angin yang menerpa, menjadi nyanyian alam yang paling merdu yang mampu mengobati luka yang saya alami.


Ketika saya sudah merasa terlalu lelah dengan berbagai situasi hidup yang saya hadapi, saya selalu menyempatkan diri untuk pergi ke pantai. Lautan luas, tidak ada hal yang mampu menghalangi pandangan, tidak perlu menengadah untuk melihat langit. Saya merasa begitu  dekat dengan Tuhan. Saya merasa Tuhan memberikan obat bagi luka di jiwa saya melalui terpaan angin di kulit saya dan juga melalui suara ombak yang saya dengar.

Saya suka laut dan pantai sejak kecil. Saya ingat, dulu ketika kecil ibu sering mengajak saya ke pantai. Mungkin sejak itulah ikatan emosional antara saya dan pantai terjalin dan menjadi semakin kuat   hingga saya beranjak dewasa.

Pantai selalu menjadi teman yang selalu menerima apa adanya saya.

Minggu, 12 Januari 2014

Persahabatan

I love these two guys.

Spongebob: “What if I break your trust someday?”
Patrick: “Trusting you is my decision, proving me wrong is your choice.”

—-

I think, that’s what a frienship supposed to be like. Trusting each other. Menerima satu sama lain, apa adanya. Tetap menerima ketika sahabat melakukan kesalahan, bukan malah menjauh.

Spongebob seems don’t mind if Patrick is damn idiot. Spongebob pernah berpura-pura menjadi sangat bodoh demi Patrick. Dan Patrick adalah sahabat yang paling setia. Bahkan ketika Spongebob menjadi kaya raya, kemudian pergi meninggalkan Patrick dan kawan-kawannya. Lalu, Spongebob kembali miskin, Patrick adalah orang pertama yang menerima Spongebob kembali.

Patrick once said:
“Knowledge cannot replace friendship. I’d rather be an idiot than lose you.”

And

Spongebob: “What do you do when I’m gone?”
Patrick: “Wait for you to come back.”

Banyak sekali dialogue-dialogue antara Spongebob dan Patrick yang (menurut saya) sangat bagus.
Dan, karena dialogue-dialogue tersebut orang-orang sering bilang bahwa Spongebob dan Patrick are gay. Hahaha how funny is that? Either they’re gay or not, d’apres moi, persahabatan antara Spongebob dan Patrick itu adalah salah satu persahabatan terbaik.

Kisah Perjalanan - 1

Ini cerita tentang perjalanan…
Ini cerita tentang pencarian…
Tapi, ini bukan cerita tentang kehilangan…
Ini tentang ketidakhadiran…
Pencarian jati diri, sosok, dan spiritualitas.

—-

Jakarta, 10 Januari

Panggilan terakhir dari operator stasiun kereta api Senen telah berbunyi. Raga sudah duduk di dalam kereta sambil mendengarkan musik dari iPod miliknya sambil bermain game. Bagi Raga, perjalanannya kali ini tidak berbeda dengan semua perjalanan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Untuk menghilangkan rasa penatnya terhadap rutinitas di ibukota. Destinasi favoritnya adalah Bali. Di sana, ia menemukan kedamaian. Ia merasa tenang. Energi spiritualitasnya seperti terisi kembali. Ia merasa sangat dekat dengan Tuhan. Namun, yang berbeda dari perjalanannya kali ini adalah pilihannya untuk menggunakan transportasi darat, kereta api. Ia ingin menikmati perjalanan. Ia ingin merasakan setiap inchi udara yang dapat ia hirup dari barat Pulau Jawa hingga ke ujung timur pulau para wali tersebut.

Begitu pula Aline. Ini merupakan perjalanan pertamanya, yang ia lakukan benar-benar sendiri. Perjalanannya kali ini merupakan ekspresi kebebasannya atas segala beban yang ia pikul selama ini. Ia ingin meluapkan segala emosi. Ia ingin memberi reward bagi dirinya, bagi jiwanya.  Baginya, tidak masalah sejauh apa perjalanan yang akan ia tempuh menuju Pulau Dewata, yang ia cari bukan di sana, tetapi sosok yang selama ini ia cari, ia rindukan, mungkin saja akan ia temukan selama perjalanan tersebut. Paling tidak, dari perjalanannya kali ini, ia ingin menghirup sedikit saja oksigen yang sama dengan orang yang ia rindukan. Mungkin.

—-

Aline, walau bagaimana pun, ia tetaplah seorang perempuan yang akan sibuk mengurusi hal sekecil apa pun. Ia orang yang sangat detil. Ia ingin perjalanannya ini berjalan dengan baik. Ia tidak ingin ada satu barang pun yang tertinggal. Sejauh itu pula ia telah mengemasi barang-barang yang akan ia bawa.
Pagi hari, Aline sudah bersiap-siap. Ia akan diantar oleh kekasihnya, Randi. Pria yang begitu over-protective terhadap Aline. Berkali-kali Randi meminta agar Ia dapat menemani Alin, berkali-kali ia meminta Aline untuk menggunakan transportasi udara saja, yang lebih cepat dan nyaman. Tapi, berkali-kali pula Aline menolak permintaan Randi tersebut. Randi seperti sudah kehabisan akal. Ia tahu, Aline orang yang keras. Ia akan tetap melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Di saat yang sama, seorang pria dengan perawakan cukup tinggi dengan tas backpack sudah duduk di kereta yang dalam beberapa menit lagi akan memacu lajunya. Dengan tempat duduk yang tidak terlalu bagus, namun tetap nyaman.

Aline sesekali memperhatikan sekitar. Penumpang di sebelahnya, seorang ibu-ibu yang akan turun di Semarang, sejak tadi tidur. Aline sempat bercengkrama dengan perempuan tersebut. Aline mulai dilanda rasa bosan. Namun ia ingin tetap terjaga. Meskipun tidak ada pemandangan di luar yang dapat dinikmati, bagi Aline perjalanan malam merupakan perjalanan untuk lebih memaknai dan merasakan perjalanan tersebut. Di tempat lain, kereta yang ditumpangi oleh Raga sedang berhenti di stasiun Cirebon. Begitu banyak pedagang yang lalu-lalang menjajakan barang dagangannya. Praktis, kereta ekonomi yang sudah ramai semakin ramai saja. Raga tidak terusik. Sesekali ia melempar senyum kepada penumpang yang berada di hadapan dia. Kereta mulai berangkat.

—-

Surabaya, 11 Januari

Perjalanan dari Surabaya ke Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi memakan waktu yang cukup lama, sekitar 6 jam lebih. Perjalanan ini yang Aline tunggu. Ia terus membayangkan sosok yang seharusnya ada dalam hidupnya, namun sosok tersebut tidak pernah hadir. Dinginnya AC bus eksekutif Surabaya – Denpasar cukup mampu meredam panas dan lembabnya udara di kota metropolis terbesar di wilayah Timur Indonesia ini.
Bus dari Surabaya menuju Denpasar ini begitu ‘kasar’ dikemudikan. Sang supir baru akan mengendurkan laju busnya kalau ada penumpang baru yang akan naik. Para penumpang itu lebih didominasi oleh warga asing, yang entah dari mana, yang akan menuju Bali.
Ketika bus yang mereka tumpangi beristirahat untuk makan siang di sebuah rumah makan, di meja makan yang berseberangan, mata Raga dan Aline tidak sengaja bertemu. Raga langsung melempar pandangan, sedangkan Aline melanjutkan suapannya. Raga tidak menyangka bahwa Ia berada dalam bus yang sama dengan perempuan cantik tersebut. Sudah cukup lama rasanya ia berada di dalam bus, tetapi ia tidak pernah melihatnya.

Selesai makan siang, semua penumpang kembali ke dalam bus. Raga yang sudah masuk dan duduk di dalam bus, melempar pandangan ke sekeliling, namun ia tidak melihat sosok perempuan yang ia lihat di rumah makan tadi. Mungkin ia bukan penumpang bus ini, batinnya. Namun, ketika bus hendak berangkat, terlihat seorang perempuan yang tergopoh-gopoh sehabis berlari. Perempuan tersebut hampir saja ketinggalan bus. Dan perempuan tersebut langsung menuju ke tempat duduk bagian belakang, jauh di belakang tempat duduk Raga.

Banyuwangi, 11Januari

Menjelang jam 6 sore, bus sudah memasuki kapal. Dari pelabuhan Ketapang, kapal mulai menarik jangkarnya. Suara kapal mulai menderu. Sementara para penumpang lain mulai keluar untuk menuju geladak kapal, Raga seperti sedang tidak ingin beranjak dari dalam bus. Toh perjalanan tersebut hanya memakan waktu kurang dari satu jam, pikir Raga. Dilihatnya sosok perempuan yang Ia lihat sejak di rumah makan tadi. Rasa penasaran Raga akan perempuan tersebut membuatnya mau ikut turun. Aline, hanya duduk saja sambil sesekali melepaskan pandangan ke laut lepas. Di genggamannya terdapat sebuah buku, entah apa. Raga memutar otak agar dapat bertegur sapa dengan perempuan tersebut. Lama ia tertegun, sampai akhirnya ia sadar perempuan tersebut sudah tidak lagi berada di tempatnya. Yang lebih mengejutkan Raga adalah perempuan itu sudah ada berdiri dengan beberapa jarak di sampingnya, berdiri di pinggiran kapal. Perempuan tersebut kemudian menoleh, sambil menunjukkan buku yang ia pegang, “Mau baca?” Ia membuka percakapan. Rasa kikuk menyergapi Raga, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Diambilnya buku tersebut, sambil memberikan senyum. “Nayla” baca Raga. “Djenar cerdas” jawab perempuan tersebut. “Aline” lanjutnya. Raga sempat bingung, namun secepat kilat ia menyadari, itu nama perempuan yang berdiri di hadapannya, “Saya Raga”. Kemudian, keduanya lebih banyak diam.

Denpasar, 11 Januari

Kapal bersandar. Bus mulai bergerak ke luar. Namun, sebelum keluar pelabuhan dan masuk ke Bali, terlebih dahulu para penumpang yang akan memasuki Bali diwajibkan untuk melalui pos pemeriksaan dengan menunjukkan kartu identitas.
Keluar dari pelabuhan, suasana Bali mulai terasa ketika bus sudah memasuki wilayah Negara. Perjalanan tersebut cukup memakan waktu, hampir 3 jam. Bus tersebut melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, sehingga membuat penumpang hampir copot jantung, termasuk Raga dan Aline. Apalagi ditambah kontur sepanjang perjalanan dari Negara menuju Denpasar yang naik turun dan berkelok-kelok, membuat perjalanan 3 jam terasa menjadi sangat lama. Untuk menghilangkan rasa takutnya, Raga lebih memilih tidur. Sedangkan Aline yang berada di barisan bangku belakang, merasakan ketegangan yang lebih tinggi akibat pergerakan badan bus. Aline terus memandang ke luar bus dan sesekali melihat ke langit. Malam hari ini begitu indah, dengan bulan purnama yang hampir penuh. Aline melihat begitu banyak bintang, jauh lebih banyak dari yang pernah ia lihat. Apalagi langit Jakarta yang begitu angkuh menghalangi kerlip bintang yang seperti sudah kehabisan bahan bakar hingga tak kuasa menembus tebalnya polusi ibukota. Aline terus memandangi langit, berharap satu saja bintang jatuh agar ia dapat memohon suatu keajaiban. Permohonan yang sudah lama ia pendam. — Di bawah langit yang sama, dengan rembulan yang bersinar sama terangnya, mungkin saja kau juga sedang mengingat ku. Aku yang mungkin saja tak kau rindukan lagi. Tapi, aku begitu merindukan mu—, Batin Aline. Ini adalah yang kesekian kalinya Aline teringat akan sosok tersebut. Sosok yang begitu jauh hingga hampir tak ia kenal, namun begitu dekat, begitu nyata di lubuk hatinya.

——-

Perspektif

Sebenarnya apa sih standar sesuatu hal menjadi baik atau buruk? Jika dipandang dari perspektif agama, sesuatu menjadi baik ketika hal tersebut sesuai dengan perintah dalam agama. Dalam kehidupan sosial, sesuatu hal dapat dikatakan baik jika sesuai dengan norma yang berlaku dalam lingkup sosial tersebut. Baik bagi agama A belum tentu menjadi baik di agama B. Baik bagi lingkup sosial X belum tentu baik bagi lingkup sosial Y. Begitu pun sebaliknya. Tambah rumit lagi ketika dalam kehidupan nyata, ada begitu banyak agama dan kepercayaan, juga lingkup sosial (budaya, adat-istiadat) yang begitu beragam. Artinya, suatu hal menjadi baik atau buruk tergantung dari perspektif mana yang memandang. Baik dan buruk menjadi begitu subjektif.

Ketika memasuki tahun 2014, terjadi hal yang menghebohkan. Yaitu, terjadinya penggerebekan terhadap terduga anggota teroris di Pamulang, Tangerang Selatan yang berujung pada tewasnya salah satu anggota terduga teroris tersebut. Kemudian terjadi pro-kontra di masyarakat mengenai isu penembakan oleh Densus 88 tersebut.

Kemudian, dalam film-film Hollywood sering digambarkan tentang negara Amerika yang melawan sekelompok orang yang mereka anggap teroris yang berasal dari -biasanya- Rusia, Asia, dan yang paling baru menjadi musuh negara Amerika dalam film adalah orang-orang Timur Tengah yang biasanya diidentifikasi beragama Islam. Dalam film-film tersebut, tentu karena dibuat oleh Hollywood, maka yang menjadi pahlawan yang tentu 'baik' adalah Amerika. Sedangkan lawannya tentu menjadi 'buruk'. Sekali lagi perspektif.

Jika kita mengubah cara pandang, Rusia, atau Timur Tengah tentu mempunyai kepentingan tersendiri dan mereka berkewajiban untuk membela dan mempertahankan kepentingan negara atau kelompoknya, tentu yang menjadi penjahat atau teroris di sini adalah Amerika yang dianggap mau menghancurkan negara atau kelompok tersebut.
Contoh lain adalah Perang Vietnam. Dalam sejarah nyata Perang Vietnam terjadi ketika negara Amerika Serikat, yang menjadi negara Adidaya pasca Perang Dingin dan PD II, menginvasi negara Vietnam. Sehingga, meletuslah perang tersebut yang berujung pada kemenangan Vietnam. Jika dilihat dari perspektif Vietnam, tentu saja mereka wajib membela dan berjuang hingga titik darah penghabisan melawan invasi dari negata asing penjajah. Dalam perspektif negara Vietnam, Amerika adalah penjahat.  Sejarah ini kemudian difilmkan oleh Hollywood (Amerika) dengan perspektif -tentu saja- Amerika sebagai pahlawan. Sekali lagi perspektif.

Dengan demikian, baik atau buruk itu menjadi semakin bias.

Semua hal bisa menjadi buruk bin jahat dan semua hal bisa menjadi baik. Yang membedakan keduanya adalah jumlah. Ketika suatu hal dilakukan secara masif, maka hal tersebut menjadi 'baik'. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian kecil orang, akan menjadi aneh, asing, tidak baik, dan seterusnya.

Jumat, 10 Januari 2014

Trip To Lampung Selatan

Trip to Lampung Selatan

Kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya saat ‘backpacking’ with my sisters, Aziza dan Meisya ke Lampung. Sebenernya ini ga bisa sepenuhnya disebut backpacking. Kenapa? Satu, karena kami pergi ga bawa yang namanya  tas ransel yang menjadi ciri khas liburan à la backpacker. My sister forced me to bring luggage -.-. Ya sudah, nurut aja. Walaupun jadinya agak repot sih karena harus nyeret-nyeret koper padahal liburan dengan transportasi umum yang ribet.

Sebenernya short trip kali ini bener-bener ga direncanain sama sekali (baca: dadakan). Dan saya percaya sama yang namanya ‘The power of words’. Jadi, pada hari selasa tanggal 15 Oktober 2013, dini hari, saya sempet nge-tweet begini “Tiba-tiba semangat buat cari duit dan nabung, buat berpetualang. Indonesia terlalu indah untuk dilewatkan”. Di saat insomnia begitu, tiba-tiba aja pengen nulis status kaya gitu di twitter. Eh, bener aja dua hari kemudian, tepatnya pada hari kamis 17 Oktober 2013, saat lagi ngobrol-ngobrol santai di sore hari sama kakak perempuan saya, dia nawarin aja gitu buat ke Lampung. Saya langsung semangat meng-iya-kan. Kebetulan dia punya temen orang Lampung. Jadi lah kami nanya-nanya pantai yang bagus buat liburan di Lampung. Kebetulan, saya dan kakak saya adalah pecinta pantai. Hehe :D

Saya juga googling pantai-pantai di Lampung dan hasilnya banyak banget pantai-pantai di Lampung yang masih bagus. Beberapa yang banyak ‘direkomendasi’ oleh mbah Google adalah Pantai Wartawan dan Pantai Merak Belantung. Dan setelah melihat di salah satu video di Youtube tentang Pantai Merak Belantung, saya pun langsung menjatuhkan pilihan saya ke Merak Belantung dibading Pantai Wartawan. Alasannya, setelah googling Pantai Wartawan ini  aksesnya susah kalau tidak bawa kendaraan pribadi. Selain itu, dilihat di Google Images juga Pantai Wartawan ini kurang saya suka karena banyak karang.

Malam harinya, kami pun packing. Pakaian saya, kakak dan adik perempuan saya dimasukkan dalam satu koper. Sedangkan peralatan lain seperti kamera, cemilan selama perjalanan, dan barang-barang lain yang tidak muat di dalam koper, dimasukkan ke dalam dua tas yang masing-masing dibawa oleh kakak dan adik saya. Saya kebagian buat nyeret koper -.-
Keesokan harinya, tepatnya pada tanggal 18 Oktober sekitar pukul 13:30, kami berangkat. Kebetulan rumah saya di Ibukota Provinsi Banten, Serang yang tidak terlalu jauh dari Lampung (jika dibandingkan jarak Jakarta-Lampung). Jadi, Serang ini ada di tengah-tengah antara Jakarta dan Lampung. Sebelum berangkat, kami menyempatkan diri berfoto-foto dulu. We were so excited due to it was the very first time for us to go backpacking just the three of us. Sama-sama ga tau daerah Lampung pula. Intinya NekaD pake D. Dari rumah, kami menyewa taksi sampe Patung (terminal bayangan di pintu tol Serang Timur Rp. 40 ribu). Dari Patung, kami naik bis ke Merak dengan ongkos Rp. 10 ribu. (Untuk yang dari Jakarta, bisa naik bus apa pun yang tujuannya ke Merak. Bisa dari Kp. Rambutan, Kalideres, Pulogadung, Tj. Periok, Slipi (seberang RS. Harapan Kita), Kebon Jeruk atau dari mana pun yang penting tujuan akhirnya Merak, ongkosnya Rp. 20 ribu). Kemudian kami turun di terminal terpadu Merak. Sebenernya jarak dari terminal ke pelabuhan ini deket banget, tinggal jalan kaki seiprit langsung nyampe. Tapi, karena bawa dua saudara perempuan yang manja banget, alhasil kami naik ojek dengan biaya Rp. 5 ribu per ojek. Sampe pelabuhan jam 3 sore, kami langsung menuju loket untuk membeli tiket kapal ekonomi seharga Rp. 13 ribu per orang. Ga lama, kapal pun dateng. Langsung aja masuk kapal. Pukul 16:00 kapal mulai tarik jangkar. Lama penyebrangan dari Merak ke Bakauheni, Lampung sekitar 2 jam. Sempet ngerasa agak pusing juga di kapal, selain karena ombak yang lumayan besar, juga karena kapal ekonomi yang jorok dan asap rokok di mana-mana. Pukul 18:30 kapal akhirnya berlabuh di Bakauheni. Turun dari kapal, siap-siap aja dengan banyaknya orang yang menawarkan jasa transportasi (bis, travel) untuk mengantarkan sampe ke tempat tujuan. Tujuan kami adalah Kalianda. Untuk ongkos sendiri, dari Pelabuhan Bakauheni menuju Kalianda ini bervariasi. Angkot Rp. 15 ribu, bis ekonomi Bakauheni – Rajabasa (katanya) Rp. 5 ribu, Travel (mobil pribadi yang dijadikan angkutan umum) biasanya Rp. 15– 25 ribu, tergantung kesepakatan dan kelihaian dalam menawar. Tapi, kami lebih memilih naik angkot karena kami akan menuju rumah salah satu kenalan kakak saya yang berada di Way Gayam yang berada di Kecamatan Penengahan, sebelum Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan. Kami turun di perempatan Gayam.

Keesokan harinya, tepat pada hari Sabtu, 19 Oktober 2013, sebelum menuju ke pantai, di desa Way Gayam sedang ada pernikahan yang panggungnya di pinggir jalan, lengkap dengan organ tunggal. Mampir sebentar, dapet makan dan dapet souvenir \(^_^)/ Dan ga sengaja liat marka jalan di desa Way Gayam yang bertuliskan “Pantai Wartawan ke kiri, dan Makan Pahlawan Radin Inten ke kanan”. Kami pun bertanya ke warga setempat tentang lokasi Pantai Wartawan, mereka bilang masih jauh dan aksesnya susah, ga ada transportasi umum menuju ke sana. Apalagi kalau sudah sore. Ini menurut saya salah satu kekurangan di Lampung. Susahnya akses untuk menuju ke tempat-tempat wisata (terutama untuk yang tidak bawa kendaraan pribadi). Padahal, Lampung ini kaya akan potensi wisata dari mulai pantai-pantai pasir putih yang masih alami yang terbentang sepanjang Teluk Lampung, air terjun, tempat-tempat bersejarah, dll.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pantai Merak Belantung yang ada di Kalianda. Kami yang buta akan wilayah dan jalan di Lampung, selalu mengandalkan google untuk mencari akses termudah menuju lokasi. Hasilnya nihil. Sedikit sekali informasi yang bisa diperoleh. Salah satu tempat terpercaya untuk bertanya adalah pegawai Alfamart yang ada di perempatan Gayam. Kami diberitahu bahwa untuk menuju Pantai Merak Belantung, kami harus menyambung angkot dua kali. Yang pertama, naik angkot warna kuning jurusan Bakauheni – Kalianda, dan berhenti di Pasar Kalianda dengan ongkos Rp. 7 ribu (karena kami dari Gayam). Sampai di pasar, kami agak bingung (tipikal orang gatau jalan, serba bingung) harus naik angkot seperti apa. Akhirnya bertanya ke seorang bapak-bapak yang lagi duduk sama anaknya, dikasih tau kalau menuju Merak Belantung sebenarnya lebih mudah naik bis dari Bakauheni yang menuju Rajabasa dan langsung turun di Pertigaan Pantai Merak Belantung. Tapi, karena bis tersebut tidak lewat pasar, alternatif lain adalah menyambung angkot yang warna kuning. Kami bingung, angkot warna kuning adalah angkot yang kami tumpangi tadi. Eh ternyata, warna kuning yang dimaksud si bapak adalah angkot warna oranye dengan kode 002. Sedikit was-was, kami bertanya ke salah satu penumpang di angkot (anak sekolah) apakah benar angkot tersebut menuju Merak Belantung, dan ternyata benar. Lega.
Agak lama juga untuk sampai menuju Merak Belantung. Setelah hampir 20 menit perjalanan dari Pasar Kalianda, akhirnya kami sampai di Pertigaan Pantai Merak Belantung dengan ciri baliho besar bertuliskan “Grand Elty Krakatoa Nirwana Resort” yang cukup eye catching melintang di Jalan Lintas Sumatera. Ongkos dari Pasar menuju Merak Belantung adalah Rp 5 ribu untuk penumpang dewasa, dan Rp 3 ribu untuk penumpang anak-anak.

Sampai di pertigaan, banyak sekali ojek-ojek yang siap mengantarkan pengunjung menuju pantai. Kami langsung didekati oleh tukang-tukang ojek yang siap menawarkan jasanya. Ongkos ojek ini bekisar antara 6 ribu – 10 ribu, tergantung kelihaian dalam menawar. Karena malas nawar, kami diantar menuju pantai Merak Belantung yang berjarak ‘hanya’ 2 KM ini dengan ongkos Rp 10 ribu per ojek. Agak rugi juga sebenarnya, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Sebenarnya jarak dari Jalan Lintas Sumatera menuju pantai-pantai ini dekat (untuk yang kuat jalan). Seperti Pantai Bagus, yang berada di KM 1, Pantai Merak Belantung di KM 2, dan Grand Elty yang ada di KM 3. Pantai Merak Belantung adalah salah satu pantai yang masuk ke dalam kawasan Krakatoa Nirwana Resort, yang dikelola oleh Bakrieland.
Di jalan menuju pantai, tukang ojek yang saya tumpangi menawarkan diri untuk menjemput saya karena tidak adanya transportasi dari pantai menuju jalan raya. Saya dikasih nomer hp oleh tukang ojek tsb. Pukul 14:30, kami akhirnya tiba di Pantai Merak Belantung. Kami diantar oleh tukang ojek sampai di loket masuk. Setelah bayar ojek Rp 30 ribu untuk saya, kakak dan adik saya (ngerasa rugi karena jaraknya deket -.-), kami langsung disambut oleh penjaga loket. Kocek yang harus dikeluarkan untuk masuk ke pantai ini sebenarnya cukup murah, hanya Rp. 10 ribu per tiket. Menurut saya worth it  lah. Sampai di pantai, kami langsung tertawa riang gembira melihat hamparan pasir putih yang membentang panjang mengitari Teluk Belantung serta laut biru di depan mata. Ditambah, pantai ini sepi pengunjung (sepi dalam arti positif). Tidak seperti di Anyer yang sudah terlalu membludak. Walaupun sepi, kami tetap merasa aman di sini dan privasi juga terjaga. Seperti private beach jadinya. Pengunjung yang Cuma ada beberapa, hanya duduk-duduk di pondok-pondok yang ada di pinggir pantai. Pondok di sini disewakan dengan harga Rp 20 ribu ‘sepuasnya’ (Beda jauh dengan di Anyer yang harganya mencapai Rp 60 ribu). Kami langsung berfoto-foto dan mandi di pantai. Saking sepinya, bahkan Cuma kami bertiga yang mandi di laut yang sangat biru tersebut. Puas rasanya bisa berjemur, berfoto, dan mandi sepuasnya di pantai yang sepi seperti ini.
Pukul 17:00, kami sudah siap beranjak pulang karena memikirkan tidak adanya transportasi menuju ke jalan raya. Saat menuju ke luar pantai, salah satu tukang ojek yang kami tumpangi tadi sudah menunggu, padahal saya belum sms dia. Namun, kami memutuskan untuk berjalan kaki saja dari Pantai Merak Belantung menuju Jalan Lintas Sumatera (abangnya agak keki juga kayaknya :D). Benar saja, hanya 20 menit waktu yang dibutuhkan untuk keluar dengan jalan kaki. Pukul 17:20 kami sudah berada di jalan raya. Saran saya, kalau pergi ke Pantai Bagus atau Merak Belantung rame-rame (minimal berempat), mending jalan kaki aja. Ga akan kerasa. Toh di antara Pantai Bagus dan Pantai Merak Belantung ada rumah-rumah warga. Nah, kalau ke Grand Elty mending naik ojek. Kalau tidak bawa kendaraan pribadi, mending jangan terlalu sore keluarnya karena sudah jarang ojek.

Sampai di gerbang Krakatoa Nirwana Resort yang berada di pinggir Jalan Lintas Sumatera, kami menunggu angkutan yang akan membawa kami kembali ke Gayam. Kami menunggu angkot oranye yang akan membawa kami ke Pasar Kalianda, namun karena sudah terlalu sore sudah jarang sekali angkot. Untung kami bertemu seorang ibu yang juga sedang menunggu angkutan menuju Gayam. Kami diberitahu bahwa ada akses yang lebih mudah untuk menuju Gayam atau Bakauheni dan sebaliknya, yaitu lebih baik naik bis apapun jurusan bakauheni atau travel (mobil pribadi yang disewakan untuk umum). Karena kalau naik angkot, susah aksesnya kalau malam hari. Untuk ongkos bis dari Merak Belantung menuju Gayam atau menuju Bakau adalah 10 ribu. Sedangkan untuk travel, tergantung kesepakatan dengan supir. Kalau travel dari Merak Belantung menuju Gayam biasanya Rp 10 – 15 ribu, dan menuju Bakauheni adalah Rp 20 – 25 ribu bisa lebih murah tergantung kelihaian dalam bernegosiasi.

Hari minggu yang merupakan hari terakhir kami di Lampung, teman kakak saya mengajak kami untuk pergi menuju pantai yang berada di dekat Gayam. Warga menyebutnya pesisir.  Kami menggunakan 3 buah motor yang dipinjam dari saudara-saudara teman kakak saya tersebut. Oleh sebab Pantai Wartawan berada di jalur yang sama dengan ‘pesisir’, maka kami yang penasaran dengan pantai wartawan meminta untuk pergi ke sana. Pukul 12:30 siang, kami berangkat. Cuaca sedang mendung dengan gerimis kecil. Kami bergegas mempercepat laju motor keluar dari Gayam. Ternyata, cuaca mendung hanya di Gayam. Untuk mencapai lokasi pantai yang berada di Way Muli, Rajabasa kami melalui beberapa desa diantaranya adalah Way Kanan. Jalan menuju ke Way Muli menurut saya sangat menakjubkan. Setelah melewati beberapa desa, jalan mulai menanjak. Semakin lama semakin menanjak disertai jurang di kanan dan kiri jalan. Saya yang membonceng adik saya merasa sangat takjub dengan jalan menuju pantai-pantai yang berada di balik Gunung Rajabasa tersebut. Karena lokasinya yang berada di balik gunung, maka untuk mencapainya harus melalui jalan berkelok dan naik turun. Sangat indah menurut saya. Melewati sawah yang berundak-undak seperti di Ubud. Belum lagi di beberapa titik, dari jalan yang yang berada di atas bukit kita bisa melihat langsung laut yang terhampar luas. Luar biasa sekali pemandangannya. Sayang sekali saya tidak sempat mengambil foto karena naik motor (suatu saat akan pergi ke sini lagi dan mengambil foto). Rasa gembira terus menghampiri saya melihat keindahan alam ciptaan Tuhan yang berada di Lampung Selatan ini. Setelah naik turun, jalanan akhirnya mulai landai dan bersisian dengan pantai. Tidak lama, kami sampai di Pantai Wartawan. Kami terperangah tak percaya. Pantai Wartawan ini keindahannya (menurut saya) terbalik 180 derajat dengan keindahan yang disuguhkan di sepanjang jalan menuju ke sini. Rasa kecewa menyergapi saya. Kendaraan yang masuk ke pantai penuh karang tanpa pasir ini dikenakan Rp 10 ribu. Tidak lama kami berada di sana, bahkan tidak sampai lima menit. Alasan saya tidak menyukai Pantai Wartawan ini adalah karena tidak ada pasir, apalagi pasir putih di pantai ini. Yang ada hanya karang-karang dan sangat ramai warga yang sedang mandi di sana sambil bermain-main. Pantainya juga agak kotor dengan pasir hitam dan sampah. Beberapa meter dari pantai ini juga ternyata tempat berlabuh kapal pengangkut batu-batu besar dari gunung. Semakin membuat jelek pantai ini (sekali lagi menurut saya). Yang mungkin bisa menjadi kelebihan pantai ini adalah lautnya yang tidak berombak dan terdapat sumber air panas di pinggir pantai. Selain itu, terdapat juga air terjun yang berada tidak jauh dari pantai ini.
Akhirnya kami bergegas pergi menyusuri jalan yang mengitari Gunung Rajabasa. Di sepanjang jalan ini, menurut saya lebih banyak pantai yang lebih bagus dari Pantai Wartawan. Setelah beberapa menit berkendara, kami akhirnya sampai di Pantai Banding Resort dan membayar tiket Rp 5 ribu per orang (setelah menolak membayar tiket masuk dengan hitungan motor yang lebih mahal Rp 15 ribu). Begitu masuk, pemandangan yang disuguhkan di pantai ini sangat indah. Pantai Banding Resort yang berada di desa Banding ini memiliki pantai dengan pasir yang cukup putih dan batu-batu yang cukup besar. Yang paling menakjukan menurut saya adalah pemandangan Anak Gunung Krakatau, Pulau Sebuku dan Sebesi yang terlihat dari pantai ini. Pulau Sebuku dan Sebesi sendiri merupakan situs diving dan snorkeling di Lampung. Selain itu, Pantai Banding Resort sangat cocok bagi yang suka berenang di pantai. Lautnya sangat tenang. Bahkan sekitar 20 meter dari bibir pantai, kedalaman air hanya sedada orang dewasa dan airnya sangat jernih. Saya bahkan bisa melihat kaki saya di kedalaman 1.5 meter. Berbeda dengan air laut di Anyer yang sudah keruh atau di Pantai Merak Belantung kemarin. Ketika berenang di atas ban menikmati air laut, pemandangan pun sangat menakjubkan. Di sisi pantai terdapat view Gunung Rajabasa, sedangkan di depannya Gn. Anak Krakatau dan Pulau-pulau sekitarnya. Sangat menakjubkan. Belum puas rasanya berenang ketika senja mulai menjelang. Tetapi, kami sudah harus beranjak karena akan pergi ke Pantai Bom (Pelabuhan Nelayan) di Kalianda yang masih berada di balik Gunung Rajabasa untuk melihat sunset. Pelabuhan kapal nelayan ini juga menjadi tempat wisata kuliner setempat. Jajanan di sini sangat murah menurut saya dan rasanya juga enak. Seperti siomay yang dijual dengan harga Rp 5 ribu per porsi, es air tebu dijual dengan harga Rp 3 ribu per cup. Tempat ini sangat bagus untuk anda yang ingin menikmati senja dengan pemandangan pantai pasir putih di kejauhan, Gn. Anak Krakatau dan pulau-pulau di sekitarnya, Gn. Rajabasa di belakangnya, serta perahu-perahu nelayan yang sedang sandar dan beberapa akan berangkat melaut. Luar biasa.
Saya pun berenana akan kembali menjelajahi Lampung suatu saat nanti. Tujuan saya berikutnya adalah Pulau Sebuku dan Sebesi serta Gunung Anak Krakatau, dan yang paling menawan adalah Teluk Kiluan. Bismillah.

Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, Lampung ini potensi pariwisata alamnya sangat bagus. Banyak sekali pantai, gunung air terjun, dsb terdapat di provinsi paling timur Pulau Sumatera ini. Seperti pantai di Teluk Kiluan, Pulau Sebuku dan Sebesi, Gunung Anak Krakatau. Namun, aksesibilitas menjadi kendala utama menuju lokasi-lokasi menakjubkan ini. Sulitnya akses menuju lokasi wisata menghambat pertumbuhan kunjungan wisatawan. Diharapkan pemerintah Lampung menyadari besarnya potensi wisata ini dan membangun fasilitas wisata dan juga sarana transportasi dan jalan yang memadai. Semoga.

The Real Life Has Just Begun.

Thursday, December 12, 2013: It was a turning point in my life.
After passing a tiring-three-months selection process of MT, they (MAP interviewers) finally hired me as one of the selected management trainees at this #1 lifestyle retail company.

I will never forget the first time I was interviewed at this company. It was on September 30, 2013, or a month after graduating from university. Before, I passed through the phsycological test. A week after that interview, its HR called me by phone and told me that I passed to the second interview, on October 10. I was so happy at that time. After the 2nd interview, I was confident that I would pass this interview. The interviewer told me that within two weeks the result would be announced. But, after the two weeks, or even a month of waiting, they never called me.
I sent an email to the HR, asked them about the progress of my application. But, the answer didn’t satisfy me.
I was about to forget it until I got an email, in the late afternoon on November 21, from MAP which informed me that I passed to the final stage, Panel Interview with the expats directors on December 12. It also informed that the process would be held a whole day from 8:00 AM.

Soon the day was coming. At 7:30 I’ve already been at Wisma BNI 46 Sudirman, South Jakarta. It was the fourth time I came to that place for an interview. That day, I extremely hoped for the best result. There were 40 other candidates. While waiting for my turn, to be interviewed by 5 panel judges (both Indonesian and expats), was the most thrilling moment ever. My heart beat thousand times harder. At 12 was my turn.

By entering the panel room, I felt my heart stopped beating **exaggerated** when I saw the panelists. Thank God, the 30-minutes-feels-like-thousand-years interview was successfully done. They told me that I passed (again) and had to do the very last stage of selection process, Focus Group Discussion (FGD), on the same day. It was the hardest moment I’ve ever felt. After the FGD, we had to present what we had discussed, based on the case study that’s given, in front of the panelists (again T.T). At that time, after presenting what I got from the case, the panelists asked me some questions. I tried very hard to hide the nerves and answered the questions. Done. Again we, the rest 25 candidates, had to wait the panelists to announce the selected candidates. I felt terrible at that moment because I thought I didn’t do my very best. But, once again thank to God, mom and dad, sisters, girlfriend, bestfriends, who always support me, finally the panelists said my name to be one of the selected ones. Praise to Allah SWT.

Yet, this is not the end, this is just the beginning. The thing I know is, preparation and hard work are the best ways to success.

-Urfi Setiawan

Kamis, 09 Januari 2014

Being a GO at Club Med Resort Bali

Ini adalah artikel yang saya tulis pada 2012 lalu, cerita tentang pengalaman kerja rodi sebagai GO di Bali. Hahaha let's check it out!

----

It’s been a month in Bali. Yeaah, Bali - The Last Paradise - Pulau Dewata - The Island of God - etc. Why am I here? Panjang cerita nya. Kalo diceritain dari awal, ga akan kelar sampe sebotol Smirnoff habis *kidding*.
Saya pergi ke Bali dalam rangka kerja part timer — saya dan kawan saya suka bilang kalo kita ini bukan kerja paruh waktu, tapi paruh gaji karena jam kerja yang sangat long long time — sebagai *kerennya sih* G.O (Gentle Organizer) di Club Mediteranee Resort yang berlokasi di Nusa Dua Resorts Bali. Keputusan untuk bekerja di sini selain untuk mengisi liburan musim panas (maksudnya libur kuliah semester genap), juga untuk menambah pundi-pundi rupiah. Club Med ini punya banyak cabang di berbagai negara, salah dua nya di Indonesia yaitu Club Med Bali dan Bintan. Asyik juga sih sebenernya bisa kerja di sini. Benefitnya cukup lumayan untuk ukuran mahasiswa seperti saya. Seperti tiket PP Jakarta - Bali - Jakarta via Garuda Indonesia, akomodasi, konsumsi, semuanya ditanggung oleh Club Med. Termasuk uang pengganti transport dari rumah - bandara - rumah. Asyik kan. Ya walaupun gajinya sih masih 1.3, tapi itu bersih. Tapi ya, benefit itu sebanding sih ama tenaga, waktu, jiwa dan raga yang kita (harus) curahkan selama bekerja sebagai GO. Jangan coba-coba kerja di sini kecuali memang passion-nya di bidang jasa (maksudnya jiwa 'membantu' nya hyper tinggi).

Buat yang party-holic sih pasti akan seneng banget kerja di sini. Yang suka sama anak-anak juga pasti bakal betah kerja di sini, karena anak-anak bule yang unyu-unyu minta banget diculik. Yang pasti, yang namanya kerja itu pasti ada sisi enak ga enaknya. Termasuk saya, ngalamin banget sisi ga enaknya kerja di sini. But mostly I enjoy it so much. Semua masalah langsung hilang pas ngeliat muka anak-anak bule yang bak malaikat semua. Walaupun tingkah mereka lebih kaya anak setan kesurupan semua sih. Gila, hiperaktif semua. Apalagi anak-anak bule Prancis. Beh, tampang malaikat tingkah setan semua. Hahaha mais je les aime beaucoup. Ils sont tres tres mignon. Ada seorang anak, usia 5 tahun namanya Titouan. Gila tampangnya tanpa dosa. Semua GO tiap ketemu dia langsung minta cium "Titouan, bisous s'il te plait!" Hahaha tapi sumpah ini anak kalau lagi kumat, bikin kewalahan semua GO. Saya sendiri pernah hampir mau nangis ngurusin nih anak satu. But I love him so much. Bagaimana pun dia tetep anak-anak.
Ada lagi tipe anak-anak dari (aduh maaf mulai rasis) Asia Timur yang agak susah diajak komunikasi, apa lagi yang dari 'Daratan'. Mostly they can't speak english well. Tapi mereka ini lebih penurut sih dibanding anak-anak Prancis. Yang paling asyik sebenernya anak-anak bule Australia. Mereka ini lebih humble, easy-going, pokoknya lebih enak deh diajak ngobrol dan main. Mereka rata-rata lebih kooperatif.

Kerja sebagai GO di Club Med ini agak unik menurut saya. Pertama, Jam kerja amat panjang dari pagi - tengah malam, 6 days a week. Dapet jatah day off cuma sehari. Bayangkan betapa capeknya? But, since we are in Bali, 1 hari libur ini bisa dimanfaatkan untuk menjelajah beberapa tempat wisata di Bali. Ya walaupun sehari ga bakal pernah cukup sih untuk jelajah Bali.

Kedua, enaknya kerja di Club Med Bali adalah, kalau bosan dan stress sehabis kerja yang sampe tengah malam itu, kita bisa langsung 'cabut' then having some fun! Beberapa tempat di Bali seperti Legian - Seminyak itu makin malam makin 'hidup'. Jadi ya, stress kerja langsung pergi ke sana yang bisa ditempuh dalam 20 menit saja dari Nusa Dua.

Nah, selama saya bekerja di CM, setiap jatah day off yang cuma sehari itu saya manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Fortunately, saya selalu mendapatkan hari libur yang sama dengan teman saya, yang juga sama-sama dari Depok. Jadi lebih enak. Kita biasanya sewa motor sehari semalam seharga Rp 50 ribu. Dan kita biasanya ngebolang dari pagi sampai pagi lagi. Hahaha :D Carpe Diem! kalo kata oom Horatius. (Mungkin ini yang bikin orang tua saya tidak mengizinkan saya lagi untuk kembali ke CM -.-)

Nah suatu hari, saya dapet jatah day off sendirian a.k.a ga bareng teman saya tadi, Vanny. My-first-GO-mate, tempat berkeluh kesah tentang kerjaan. Yaaah, hilang deh partner in crime. Tapi, seperti kata Shaden bahwa dunia belum berakhir walau liburan cuma sendirian. Day off kali ini saya manfaatkan untuk ber-me-time ria.
Saya agak bingung sih sebenarnya kenapa Mr. Allyn, californian-dude, my manager as well, ga ngasih libur bareng Vanny. Walaupun jadi kesel sama Allyn, but I admit it that he's the nicest one here in Club Med. Ga mau mood rusak, akhirnya saya memutuskan untuk pergi keliling sekitaran Selatan Bali.  Dan — dengan sangat nekat — saya berencana untuk pergi ke Uluwatu, sendiri pakai motor. Tapi sebelum berangkat, seperti biasa saya nyuci pakaian dulu di Laundry Club Med. Jam menunjukkan pukul 12:30 saya langsung tancap gas meninggalkan Nusa Dua menuju Uluwatu. Sepanjang perjalanan melewati by pass Ngurah Rai, timbul keraguan untuk nerusin ke Uluwatu atau ga. Karena belum pernah juga kesana, sendirian pula. Sampai di lampu merah Benoa Square, terlihat lah papan penunjuk jalan yang bilang kalo Uluwatu sekitar 18 KM lagi. Tapi, pas lampu ijo, bukannya belok kiri ke Uluwatu, saya malah ambil jalan lurus menuju Kuta. Yasudah lah, apa mau dikata. Daripada ada apa-apa di jalan. *ambil positifnya aja*.

Sampailah di sekitaran Kuta-Legian, bingung juga mau kemana. Tadinya mau ke Discovery Mall — salah satu mall paling hitsdi Bali — , tapi mikir lagi. Yaelah, jauh-jauh ujungnya ke mall juga. Akhirnya gajadi. Daaaan pelabuhan terakhir jatuh kepada…. eng ing eng…. Pantai Kuta. Pantai sejuta umat. Setelah parkir motor di depan Kuta BEX, akhirnya saya melangkahkan kaki masuk ke area Pantai Kuta. Yang paling saya suka adalah hari ini pantainya ga terlalu ramai, mungkin karena baru jam 1 siang juga, lagi panas-panasnya — untung bawa sun glasses *gaya dikit boleh lah*. Hanya terlihat segelintir bule yang berjemur.

Saya menghabiskan waktu sekitar 3.5 jam di pantai Kuta dengan duduk-duduk sambil baca buku karya Iwan Setyawan, 9 Summers 10 Autumns. Walaupun katanya pantai Kuta ini udah biasa, tapi menurut saya pantainya memang indah, lumayan bersih juga. Dan, entah kenapa, saya ngerasa ada kedamaian yang menyelinap ke dalam diri di tengah keramaian Pantai Kuta. Akhirnya kelar satu novel dan air mulai pasang juga, saya beranjak pulang ke Nusa Dua. Karena lagi bulan puasa, saya ngejar biar sempet beli tajil buat buka puasa.

Sampai di Nusa Dua, jam masih menunjukkan pukul 5 kurang, saya menyempatkan diri nyari makanan buka puasa di Jl. Pratama Nusa Dua. Karena di sini salah satu tempat di Bali yang banyak muslimnya. So, ga susah nyari makanan macem kolak atau bubur sumsum buat buka puasa. Selesai beli makan, selesai sudah perjalanan singkat hari ini di Bali. Tinggal nunggu maghrib :)

Pulau Liran, Maluku Barat Daya

Pulau Liran, Maluku Barat Daya.

Setelah pada postingan sebelumnya saya menceritakan tentang perjalanan saya hingga akhirnya sampai di Pulau Liran (penduduk lokal menyebutnya Pulau Lirang) pada tahun 2011, maka pada postingan kali ini saya akan memberi sedikit gambaran tentang keadaan salah satu pulau terdepan Indonesia yang secara administratif menjadi bagian dari teritori Propinsi Maluku.

Menjalani program Kuliah Kerja Nyata (K2N) menjadi salah satu bentuk pengabdian seorang mahasiswa terhadap masyarakat. Saya merasa beruntung sekali dapat menjadi bagian kecil dari program K2N UI 2011 yang menempatkan para mahasiswanya di pulau-pulau terluar Indonesia. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan pula ketika  saya ditempatkan di Pulau Liran –nama yang baru pertama kali saya dengar waktu itu (2011, red)—salah satu pulau terselatan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Pulau Atauro, sebelah utara Dili, Ibukota Timor Leste.

Ketika saya mengetahui bahwa saya ditempatkan di pulau ini, yang saya lakukan pertama kali adalah google-ing. Namun, minim sekali informasi yang tersedia mengenai Pulau Liran di laman mesin pencari raksasa tersebut. Berbekal informasi yang kurang memadai tersebut pula, kami mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dan hal apa yang harus kami lakukan di pulau kecil tersebut. Hingga akhirnya kami, saya dan 18 peserta K2N UI 2011 dan dua orang dosen pembimbing dari Universitas Nusa Cendana Kupang, benar-benar menginjakkan kaki di pulau kecil ini.
Seperti yang telah dijelaskan pada postingan sebelumnya bahwa Pulau Liran merupakan salah satu dari beberapa pulau terluar Indonesia yang berada di Kecamatan Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Propinsi Maluku. Hal pertama yang muncul di benak saya ketika mendengar kata Maluku adalah letaknya yang berada di bagian Utara Indonesia. Namun, setelah melihat Google-Map letak Pulau Liran ini jauh dari pusat Maluku. Pulau kecil yang berada di sebelah Barat Pulau Wetar ini letaknya lebih dekat ke Propinsi NTT dan Negara Timor Leste, yang menjadikannya sebagai salah satu dari 92 pulau terdepan Indonesia.

Pulau Liran dengan luas ± 45 km persegi ini terdapat satu desa dan satu dusun, yaitu Desa Ustutun dan Dusun Manoha, serta (secara informal ada) sebuah desa kebun bernama Uspisera. Jarak antara Desa Ustutun yang berada di Sisi Timur Pulau Liran dan Dusun Manoha yang berada di Selatan adalah ±8 km. Hanya terdapat beberapa motor (yang bisa dihitung dengan jari) dan satu buah truk di pulau ini. Jadi, untuk pergi antar desa kita dapat mengandalkan kaki kita sendiri saja (sediakan alas kaki yang kuat dan banyak, karena mudah sekali rusak akibat jalanan berbatu tajam dan panas).
Berada di Pulau Liran selama hampir satu bulan lamanya membuat saya cukup tahu sedikit banyak tentang pulau ini. Fasilitas umum yang tersedia di Pulau Liran cukup baik –walaupun tidak bisa dikatakan benar-benar memadai—. Seperti terdapat Puskesmas dengan satu dokter PDT dan beberapa petugas kesehatan, Sebuah gereja untuk mayoritas penduduk yang beragama nasrani, sebuah musholla, fasilitas pendidikan hanya tersedia dari SD – SMP yang terdiri dari dua SD dan satu SMP, balai desa, lapangan voli, Pos TNI AL dan AD sebagai pengawal perbatasan, sebuah dermaga kapal yang belum jadi (2011, red), terdapat sebuah mercusuar peninggalan Belanda di atas bukit di Tanjung Manoha, serta sebuah tugu yang berfungsi sebagai penanda wilayah Republik Indonesia sekaligus menjadi penanda perbatasan. Fasilitas umum yang dapat dikatakan sangat memprihatinkan adalah ketersediaan listrik di Pulau Liran. Sebenarnya pemerintah telah memberikan alat untuk listrik tenaga surya pada tiap-tiap rumah, namun karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana penggunaan alat tersebut menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat. Alhasil, alat tersebut menjadi seperti tidak berguna. Untuk kebutuhan listrik, akhirnya masyarakat hanya mengandalkan genset yang dimiliki oleh hanya segelintir warga mampu. Pasokan listrik dari genset tersebut hanya beroperasi pada malam hari saja. Harga bahan bakar minyak (dalam hal ini solar sebagai bahan bakar genset dan kapal nelayan) yang sangat mahal juga menjadi kendala. Pada tahun 2011, ketika harga BBM Rp. 4500, di pulau ini harganya sudah mencapai Rp. 15 – 20 ribu per liter.  The last but, of course, not least ‘masalah’ yang dihadapi warga Pulau Liran adalah sangat minimnya sarana komunikasi. Tidak ada BTS untuk telepon selular di Pulau ini. Hal tersebut menjadi faktor lain penyebab keterasingan Pulau Liran. Selama satu bulan kami berada di Pulau ini, untuk dapat menggunakan HP kami harus berjalan hampir 8km dari tempat tinggal kami di Desa Ustutun ke Dusun Manoha. Sinyal yang timbul tenggelam pun berasal dari operator selular negara tetangga, Timor Telekom yang biaya sms dan teleponnya susah diungkapkan dengan kata-kata sangking mahalnya karena roaming internasional. Sedangkan televisi sebagai sarana hiburan hanya dimiliki oleh sangat sedikit warga di Pulau ini (‘dimanfaatkan’ oleh warga untuk menonton sinetron remaja picisan Arti Sahabat yang-sangat-Jakartanisasi, I mean, sinetron yang menggambarkan kehidupan Jakarta yang serba wah, yang ‘secara tidak sadar’ membuat iri warga Pulau yang hidup dengan segala keterbatasan. Screwball Sinetron).

Seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat Pulau Liran juga mempunyai bahasa dan budayanya sendiri. Masyarakat Pulau Liran mengenal bahasa Ili’un sebagai bahasa daerah dan terdapat sebuah cerita tentang asal usul Pulau Liran. Pulau Liran dapat dikatakan merupakan sebuah daerah irisan budaya serta adat-istiadat. Selain penduduk asli Pulau Liran, terdapat pula orang-orang yang berasal dari daerah sekitar seperti Maluku, Alor, dan bahkan Atauro, Timor Leste yang menetap di Pulau Manise ini. Sehingga terjadi percampuran budaya dan adat melalui perkawinan, dan melalui interaksi kultur lainnya. Adat pela darah, tari cakalele, tarian dan nyanyian parutu dan botu, alat musik tifa, kemudian makanan dan minuman tradisional seperti sopi, sambal colo, kaleso, kue rambut, sagero, dan masih banyak lagi lainnya merupakan budaya Liran yang juga terdapat di daerah-daerah lain di Maluku dan NTT. Penduduk Liran biasanya melakukan sebuah upacara khusus penyambutan bagi orang-orang yang datang ke Pulau Liran, tentu dengan tujuan khusus. Pada saat kami sampai di Pulau Liran, kami disambut oleh tarian dan nyanyian selamat datang dari warga, kemudian kami dibawa ke balai desa. Sebagai bentuk penerimaan penduduk lokal terhadap tamu, biasanya para tamu akan disuguhi sopi (minuman tradisional beralkohol) dan disertai teriakan ‘Kalwedo’.

Pulau ini didominasi oleh mangrove dan hutan sabana dengan kontur berbukit yang banyak ditumbuhi pohon koli, bahan utama Sopi. Selain itu, terdapat garis pantai dengan pasir putih yang cukup panjang. Hamparan pasir putih yang luas, terumbu karang yang luas dan masih alami terjaga sangat bagus untuk spot snorkeling atau divimg, terutama di daerah sekitar Uspisera. Kemudian bukit sabana, menjadi daya tarik tersendiri yang dimiliki Liran. Namun, seperti wilayah-wilayah NTT dan Maluku lainnya, suhu udara pada siang hari di Pulau Liran sangat panas.

Bentuk mata pencaharian yang banyak dilakukan warga di Pulau Liran adalah pemanfaatan sumber daya laut seperti ikan dan rumput laut, serta berkebun singkong dan ubi (tidak ada sawah di sini). Hasil-hasil nelayan dan bertani tersebut kebanyakan dijual oleh warga ke Atauro. Aktifitas perniagaan dilakukan oleh warga untuk mendapatkan berbagai kebutuhan pokok dasar, seperti sembako, yang lagi-lagi harganya cukup mahal karena dibeli dari negara tetangga (padahal itu semua produk-produk Indonesia yang diekspor ke Timor Leste kemudian dijual ke Liran. Bayangkan berapa kali kenaikan harga produk yang harus dibayar warga Liran tersebut dari harga normal yang ada di Jakarta). Walaupun terkadang masyarkat Liran juga membeli berbagai kebutuhan dari Kupang dan kapal dagang yang berasal dari Bugis. Namun, kedatangannya pun hanya satu bulan sekali. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, warga harus membeli produk dari pulau terdekat yang ketersediaan barangnya cukup banyak, yaitu Atauro, Timor Leste.

Seperti itu lah sedikit gambaran tentang Pulau Liran. Selanjutnya hal yang akan saya ceritakan adalah mengenai apa saja yang kami, peserta K2N UI 2011, lakukan di Pulau Liran. Kami yang terdiri dari 19 mahasiswa dibagi ke dalam empat kelompok dan dibimbing oleh dua orang dosen pembimbing. Saya sendiri masuk ke dalam kelompok Pendidikan Khusus dan Pelayanan Khusus. Selama di Liran, kelompok kami bertugas untuk mengajarkan cara menulis dan membaca kepada warga-warga berkebutuhan khusus, orang-orang yang sudah lewat usia sekolah namun belum mampu membaca maupun menulis, termasuk orang tua. Sedangkan kelompok lainnya bertugas sesuai dengan program kelompok masing-masing. Seperti ada kelompok yang khusus mengadvokasi warga secara hukum, memberi pemahaman tentang kesehatan (sanitasi dll), membantu warga berwirausaha dan memanfaatkan sumber daya alam serta SDM yang ada secara mandiri, dan masih banyak lagi. Sebenarnya, kegiatan kami tidak terbatas pada program kelompok saja. Selain itu, kerja sama saling bantu membantu antar kelompok juga menjadi hal yang mutlak dilakukan. Pada akhir program, diadakan sebuah pentas seni yang menampilkan berbagai tari khas, lomba dari anak-anak sampai orang tua, dll.

Setelah semua ‘goal’ tercapai, kami kemudian mendirikan sebuah tugu K2N di Pulau Liran. Tentu saja dibantu oleh tentara dan warga dalam pembuatannya. Setelah hampir satu bulan berada di Pulau ini, tiba saatnya kami untuk pulang kembali ke Jakarta. Seharusnya, sebelum pulang ke Jakarta, kami harus melakukan presentasi terlebih dahulu di depan kepala daerah tempat kami mengabdi, entah itu camat atau bupati. Namun, karena wilayah Liran yang cukup sulit dijangkau yang membuat camat Wetar hanya sebentar melepas kami kemudian langsung pergi. Pada siang hari sehari sebelum kepergian, kami berpamitan dan bersalaman serta peluk perpisahan dengan warga yang diwarnai oleh drama tangisan. Pada malam harinya, diadakan ‘pesta’ perpisahan yang dibuat oleh warga di balai desa, seperti bernyanyi berjoget dan juga minum sopi. Saya pun mendapat beberapa souvenir dari warga berupa kain tenun khas NTT dan Timor Leste. Keesokan harinya kami bersiap-siap untuk kembali dijemput oleh KRI. Ternyata, di bibir pantai gerbang Desa Ustutun, sudah banyak sekali warga yang bersiap melepas kepergian kami. Untuk mencapai KRI yang berada jauh dari pulau, kami kembali diantar oleh warga dengan perahu ketinting. Sebelum naik ke kapal, kembali terjadi drama tangisan. Rasanya berat sekali meninggalkan warga yang sudah sangat baik menerima kami seperti keluarga.

O kanana o tamui, Liran.

Pantai Uspisera, Liran

Pulau Liran Tampak Dari Laut

Rumah di Dusun Manoha, Liran

Upacara di SD Kristen Ustutun, Liran

Menuju Pantai Uspisera, Liran

Kuliah Kerja Nyata (K2N) UI 2011

Liran, atau penduduk lokal biasa menyebutnya dengan Pulau Lirang. Mayoritas penduduk Indonesia (mungkin) tidak tahu keberadaan pulau ini. Begitu pula saya (pada awalnya). Saya baru mengetahui pulau ini ada ketika akan ditempatkan di pulau tersebut dalam program Kuliah Kerja Nyata (K2N) Universitas Indonesia pada tahun 2011. Pulau ini menjadi salah satu dari 11 titik pulau-pulau terdepan Indonesia yang menjadi lokasi K2N. Selain Pulau Liran, peserta K2N juga ditempatkan di beberapa tempat seperti Kecamatan Badau Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, Kepulauan Morotai Maluku, Kabupaten Raja Ampat dan Kecamatan Wasior di Papua Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara Perbatasan Indonesia-Timor Leste, Pulau Palue, Alor, dan Ende yang berada di NTT.

Secara administratif, Pulau Liran berada di kecamatan Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Namun, secara geografis pulau kecil ini jauh dari pusat pulau Maluku, Ambon. Pulau ‘terisolir’ ini lebih dekat ke provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini menjadi salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste (Pulau Atauro, dahulu Pulau Kambing).

Untuk mencapai pulau ini, tidak mudah. Setelah melalui masa ‘penggemblengan’ baik secara fisik maupun mental selama beberapa hari di Koarmatim (Komando Armada Indonesia Kawasan Timur) TNI AL yang berada di Surabaya, para peserta K2N UI 2011 yang berjumlah sekitar 150-an mahasiswa yang telah dibagi dalam beberapa kelompok dan titik, diterbangkan ke masing-masing titik yang telah ditentukan pada saat di kampus Depok. Saya dan beberapa peserta K2N UI yang ditempatkan di Pulau Liran terlebih dahulu harus pergi ke Kupang, Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan pesawat terbang. Selain peserta titik Pulau Liran yang berjumlah sekitar 19 orang (pada awalnya 20 orang, satu orang mengundurkan diri karena suatu alasan), terdapat pula peserta lainnya yang ditempatkan di pulau-pulau sekitar NTT seperti Pulau Ende, Flores, Alor dan Palue.

---

Sedikit bercerita, program K2N UI ini tidak diwajibkan kepada para mahasiswa UI, seperti program kuliah kerja nyata pada umumnya di kampus lain yang mewajibkan setiap mahasiswa untuk ikut serta. Di UI, bagi mahasiswa yang ingin terlibat dalam program K2N, terlebih dahulu harus melewati tahapan seleksi yang terdiri dari seleksi essay, wawancara, dan karantina di Koarmatim atau Koarmabar. Essay yang ditulis biasanya mengangkat isu-isu tentang pulau-pulau terdepan dan perbatasan, baik isu ekonomi, sosial-politik, hukum, budaya, pariwisata, dll. Saya sendiri pada saat itu membahas tentang sengketa kepemilikan Pulau Berhala antara Pemerintah Kepulauan Riau dan Pemerintah Jambi.

----

Dini hari, setelah selesai packing barang kami berangkat menuju Bandara Juanda disebabkan oleh jadwal penerbangan pagi, sekitar jam 7 pagi. Setelah terbang selama 2 jam dari Bandara Juanda Surabaya, kami akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara El Tari (setelah mengalami turbulensi di atas Kupang). Saya dan rombongan kemudian pergi dengan menggunakan angkutan umum lokal (bis 3/4). Sebagian peserta langsung menuju ke Kabupaten Timor Tengah Utara yang masih berada di Pulau Timor, yang berbatasan langsung dengan distrik Oecussi, Timor Leste. Sedangkan kami langsung menuju pangkalan KRI di Kupang. Ya, KRI!!! it’s an abbreviation for Kapal Perang Republik Indonesia. Saya sedikit bangga juga karena tidak semua orang bisa menaiki kapal khusus ini. Kami para peserta K2N mendapatkan kesempatan untuk menumpang KRI Teluk Mandar 514 yang akan mengantarkan kami ke masing-masing titik selama beberapa hari ke depan.
Tujuan pertama kami adalah Maumere yang berada di Kabupaten Sikka. Sore hari, KRI akhirnya tarik jangkar dari pelabuhan. “It’s gonna be a fantastic trip” pikir saya dalam hati. I was so excited karena ini merupakan perjalanan pertama saya ke wilayah timur Republik tercinta ini. Mengarungi samudera biru yang katanya sangat indah. Hyperbole? Nope. You have to go there to prove it by yourself. Surely, you will easily fall in love with the landscape and with the people as well. Benar saja, setelah kapal mulai mengarungi lautan luas dan matahari mulai tenggelam, Teletubbies berpamitan –no, kidding. It was a distraction—. Langit malam hari di tengah laut sangat indah. Ribuan bintang-gemintang tanpa malu-malu menampakkan kerlipnya. Moreover, here from the ocean you’ll see milky way and galaxies directly over your head. Hal yang langka bagi langit di kota. Jangankan kota sebesar Jakarta atau Surabaya yang sudah sarat polusi, kota kecil seperti Depok saja sudah sulit melihat langit cerah penuh bintang di malam hari.

Setelah selesai menaruh barang-barang keperluan K2N dan mendapatkan pengarahan dari kapten kapal, kami mulai bersantai menikmati sunset pertama dan langit malam yang indah. Peserta laki-laki ditempatkan di geladak kapal (tentunya dipasang tenda tentara demi keamanan) karena kabin ditempati oleh peserta perempuan. Kami para peserta mengisi waktu dengan bercengkarama, bahkan berjoget dan bernyanyi. Malam pun berlalu.
Keesokan harinya, KRI yang kami tumpangi mulai bersandar di Pelabuhan Laurens Say, Maumere. —Fyi, di kejauhan tampak sebuah patung (mungkin Patung Yesus) di atas gunung di Kota Maumere.— Para peserta K2N yang ditempatkan di Pulau Ende turun di Maumere dan kemudian melanjutkan dengan angkutan darat menuju lokasi K2N. –Dengar-dengar dari tentara, mereka akan melewati danau tiga warna, Kelimutu yang tersohor itu—. Mereka mulai unload barang dibantu oleh para peserta K2N yang lain. Para peserta yang terdiri dari 15 orang perempuan dan dua orang laki-laki ditambah dua orang pembimbing tersebut disambut oleh tentara dan juga pemerintah lokal. Setelah melakukan upacara pelepasan peserta diiringi lagu Indonesia Raya (dan drama tangisan), kapal kembali harus berlayar. Sedih juga rasanya berpisah untuk sementara waktu dengan kawan-kawan senasib sepenanggungan ini. Ceilah. Ada sedih, ada juga bahagia. Yin and Yang. Kabar bahagia tersebut adalah dua orang dosen pembimbing kami dari Universitas Nusa Cendana, Kupang akhirnya bergabung dengan kami kelompok Pulau Liran.

Next stop was Palue. Ya, pulau kecil yang berada di utara Flores ini menjadi tujuan kami berikutnya. Setelah melalui perjalanan melintasi laut lepas yang menakjubkan, kami akhirnya sampai di Pulau Palue. Sayangnya, KRI tidak dapat berlabuh di pulau Palue karena tidak adanya pelabuhan untuk kapal sebesar KRI di pulau yang terdapat gunung berapi aktif, yaitu Gunung Rokatenda tersebut. Terpaksa, kapal melemparkan jangkar agak jauh dari pulau guna menghindari karam. Para peserta yang ditempatkan di Pulau Palue dan berjumlah belasan mahasiswa serta dua orang dosen pembimbing tersebut akhirnya dijemput dengan menggunakan perahu motor milik penduduk setempat. Seperti biasa, setelah pelepasan peserta kapal kemudian kembali berlayar. Pada saat kapal mulai bergerak, tampak di kejauhan beberapa ekor lumba-lumba berenang di sekitar pulau Palue.
The third stop would be Alor. Entah sudah berapa hari mengarungi lautan luas. Saya yang awalnya merasakan mabuk laut, sudah mulai terbiasa dengan keadaan di dalam kapal. Kami para peserta laki-laki yang pada awalnya ditempatkan di geladak kapal, dipindahkan ke dalam kabin kapal. Hilang mabuk laut, datang penyakit lain. Ya, ketika masuk ke bagian dalam kapal dan membayangkan akan tidur di tempat tidur bertingkat di ruangan sempit dalam kapal, claustrophobia pun mulai menyergapi saya. Awalnya saya berusaha untuk menyembunyikan hal tersebut dengan berusaha beradaptasi dan mengurangi ketakutan saya akan ruangan sempit di dalam kapal, namun ketakutan tersebut malah semakin bertambah. Beruntung, saya diizinkan oleh kepala kapal untuk tidur di sebuah ruangan di atas kapal (semacam ruang UKS untuk tentara yang sakit, dengan beberapa kasur empuk :D) dekat dengan kamar-kamar tentara. Alhasil, malam itu saya sendirian tidur di kamar tersebut.
Keesokan harinya, kami mulai memasuki wilayah perairan Alor. Salah satu hal yang menakjubkan dari perjalanan ini adalah saat melewati Pulau Lembata yang terkenal akan tradisi pemburuan ikan paus (tahu dari acara Jejak Petualang di Trans 7). Selain itu, selama perjalanan tersebut kami disuguhi oleh “atraksi alami” lumba-lumba yang berenang mengikuti kapal yang kami tumpangi. Saya pun sibuk mengambil video lumba-lumba yang berenang beriringan dengan kapal kami.
Menjelang siang hari, KRI mulai memasuki Pelabuhan Kalabahi, Alor. Di sini, kami mengantarkan para peserta yang akan ditempatkan di dua titik di pulau Alor, yaitu di Pulau Pantar dan Desa Ombai. Luar biasa sekali sambutan masyarakat setempat yang berada di pelabuhan. Mereka begitu ramah menyapa kami dengan senyum ramah. Beberapa ada yang menanyakan maksud dan tujuan kami berada di pulau tersebut, dan bahkan ada yang “menyuruh” kami untuk tidak lupa membawa oleh-oleh khas Alor. Semua peserta K2N, termasuk kami yang akan ditempatkan di titik lain, kemudian diajak menuju kantor bupati Alor sebagai bentuk penerimaan pemerintah daerah terhadap para peserta K2N. Jarak dari pelabuhan menuju kantor bupati tidak begitu jauh. Kami pun diangkut dengan menggunakan mobil-mobil dinas pemerintah menuju kantor bupati. Di kantor tersebut, kami diterima langsung oleh bapak bupati dan disuguhi makanan khas Alor seperti kenari, dan jagung titi.

Setelah acara penerimaan peserta K2N di kantor bupati, kami mulai beranjak untuk mengantarkan peserta yang akan ditempatkan di Pulau Pantar. Para peserta ini diangkut dengan menggunakan perahu motor kecil menuju Pulau yang berada di sebelah barat Pulau Alor tersebut. Luar biasa sekali, selain masyarakatnya yang sangat ramah, Alor juga dilimpahi keindahan alam dengan lautnya sangat jernih dengan ikan warna warni. Konon katanya, keindahan Alor tidak kalah jika dibandingkan dengan keindahan Kepulauan Karibia, atau Raja Ampat. Terdapat banyak situs-situs penyelaman dan sayangnya kebanyakan resort di pulau ini dikuasai oleh asing. Cerita lama.

Akhirnya peserta K2N yang tersisa tinggal kami ber-19 yang akan ditempatkan di titik Pulau Liran. Sambil menunggu kapal berangkat, kami menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di pasar yang berada di dekat pelabuhan. Beberapa teman saya membeli kacamata hitam untuk digunakan di Pulau Liran. Di daerah timur, menggunakan kacamata hitam berguna untuk menghindari sinar matahari yang sangat menyengat yang dipantulkan oleh air laut. Setelah puas jalan-jalan dan berfoto, kami akhirnya kembali ke kapal. Sore harinya kapal berangkat.

Our last stop was Pulau Liran.Pulau kecil ini berbatasan dengan Pulau Alor di sebelah barat, Pulau Wetar di sebelah timur, Laut Banda di sebelah utara, dan Pulau Atauro-Timor Leste di sebelah selatan.
Ketika dalam perjalanan, bahkan sejak dari Depok, ketua pelaksana lapangan K2N, yang akrab dipanggil Mbak Uci, selalu mengingatkan kami bahwa wilayah perairan Liran merupakan salah satu wilayah yang sulit untuk dicapai dan akan selalu ada kemungkinan untuk kami dipindahkan ke titik lain di Pulau Timor yang aksesnya lebih mudah dijangkau. Sepertinya hal tersebut semakin mendekati kenyataan ketika kapten kapal KRI Teluk Mandar 514 yang kami tumpangi memberitahukan bahwa wilayah perairan sekitar Pulau Liran kemungkinan sulit  untuk dilalui karena arus yang sedang kencang dan angin yang tidak menentu (khas perairan timur Indonesia). Rasa kecewa pun mulai menghinggapi kami membayangkan bahwa dari awal kami akan ditempatkan di sana lalu seketika berubah, dan juga membayangkan warga Pulau Liran yang sudah menanti kami. Perasaan kecewa tersebut berkurang ketika kapten kapal mengatakan bahwa ia akan berusaha agara dapat mencapai Pulau Liran. Rasa was-was tetap menghinggapi dan kami pun terus berdoa agar diberikan kelancaran.
Keesokan harinya, KRI mulai memasuki perairan Liran. Keajaiban Tuhan menyertai kami. Perairan di sekitar Pulau Liran yang sebelumnya tidak bersahabat, pada pagi ini sangat tenang. Meski demikian, kami tidak dapat bersandar di pulau karena tidak adanya pelabuhan. Terpaksa kami harus dijemput dengan ketiting (perahu nelayan tradisional). Sambil menunggu dijemput, kapten memberitahukan kepada kami bahwa pulau yang tampak tidak jauh di dekat kapal kami adalah Pulau Atauro (dahulu Pulau Kambing) yang merupakan bagian dari kedaulatan negara Timor Leste. Tidak lama, kapal penjemput datang. Kami dibagi ke dalam tiga kelompok: dua perahu nelayan yang diisi oleh kampi para mahasiswa dan dosen pembimbing, dan satu perahu karet milik TNI AL yang diisi oleh ketua K2N dan tentara. Tampak dari kapal dusun Manoha dengan pantai pasir putihnya yang sangat indah. Namun wilayah ini ombaknya sangat besar dan lautnya dalam. Setelah menyusuri perairan pulau, akhirnya kami sampai di desa Ustutun, gerbang masuk Pulau Liran. Warga pun sudah menunggu dan menyambut kami dengan upacara adat (tari-tarian). Alhamdulillah, akhirnya sampai.

Untuk Saudara-saudaraku di Batas Negeri - Dirgahayu Republik Indonesia

Artikel berikut adalah artikel pertama saya yang saya publish pada tahun 2011 di akun Tumblr saya. Artikel ini dibuat dalam rangka menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Artikel ini sendiri saya persembahkan untuk saudara sebangsa dan setanah air yang berada di titik-titik perbatasan terdepan Indonesia, khususnya saudara-saudara Liran Manise. Enjoy.

----
Untuk Saudara-saudaraku di BATAS NEGERI.

Hai, apa kabar saudara-saudara ku yang berada di batas negeri?

Yang oleh mereka yang tinggal di pusat negeri disebut pelosok.

Padahal, mereka tidak tahu betapa sulitnya hidup di PERBATASAN dengan segala KETERBATASAN.

Namun demikian, kalian tetap semangat untuk terus menjaga agar Merah Putih tetap berkibar dan NKRI tetap utuh.

Mereka yang di pusat negeri hanya bisa membuat konsep bagaimana menjaga keutuhan NKRI.

Namun tidak tahu bagaimana sulitnya menjalankan mega konsep tersebut.

Tapi kalian, dengan sekuat tenaga, tetap mau dan berusaha menjaga kedaulatan bangsa,tanpa PAMRIH.

Ketika terjadi sengketa kedaulatan, kalian lah yang disalahkan atas hal tersebut. kalian disebut tidak nasionalis, tidak cinta tanah air.

Padahal, bukan salah kalian jika hal itu terjadi. kalian hanya ingin agar hidup lebih layak, namun apa yang terjadi,

Kalian diabaikan oleh mereka yang mengaku sebagai orang yang satu bangsa dan satu tanah air,

Kalian diabaikan oleh saudara-saudara kalian sendiri yang berjabat di negeri ini. Oh, betapa malunya kami.

Pemerintah mengeruk segala kekayaan alam yang kalian punya dengan menjanjikan kesejahteraan untuk kalian.

Tapi apa yang terjadi. Kalian tetap hidup dengan segala keterbatasan yang sangat mengerikan.

Disaat pejabat-pejabat di negeri ini berebut kekuasaan untuk terus menerus menumpuk pundi-pundi harta hanya untuk diri mereka pribadi, yang kalian lakukan hanyalah berkebun dan melaut hanya untuk mengisi perut kalian untuk HARI INI saja .

Saya yakin, banyak sekali orang di negeri ini yang tidak tahu akan keberadaan kalian, bahkan presiden pun belum tentu tahu ada pulau-pulau di batas negeri yang butuh perhatian dari pemerintah dan setiap orang di negeri ini. Mereka juga belum tentu tahu bagaimana sulitnya kalian menghadapi “intervensi-intervensi” dari negera tetangga.

Namun demikian, kalian tetap tidak tergiur dengan tawaran-tawaran asing tersebut untuk meninggalkan NKRI.

Saya sangat salut terutama dengan adik-adik semua, karena walaupun kalian jauh dari pusat, dan lebih dekat dengan negara tetangga,  kalian begitu semangat menyanyikan lagu Indonesia Raya, kalian begitu semangat membacakan UUD 1945 ketika upacara bendera, kalian begitu semangat meneriakkan pancasila.

Tapi percayalah saudara-saudara ku, suatu saat perjuangan kalian menjaga NKRI akan dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dengan  balasan yang setimpal.

Untuk adik-adikku di SDK Ustutun, SDN Uspisera, SMP Negeri 7 Pulau-pulau Terselatan, Maluku Barat Daya, serta adik-adikku di batas negeri yang lain, terus semangat untuk menggapai mimpi-mimpi kalian.

Dirgahayu Tanah Airku, Republik Indonesia ke-66. terutama untuk saudara-saudara ku yang berada di batas negeri,dari Sabang-Merauke dan dari Miangas-Rote, yang tetap semangat untuk terus menjaga agar Merah Putih tetap berkibar. dengan segala keterbatasannya,namun tetap semangat menjaga kedaulatan bangsa agar NKRI tetap utuh. Jayalah Negeriku, Bangsaku, dan Rakyatku. :)


Let's Start The Journey

Why do I make a title like that? Many reasons. Yang pasti, saya ingin memulai dan menulis berbagai hal yang saya alami dalam hidup saya. Perjalanan yang saya lakukan, pengalaman, cerita-cerita fiksi, apa pun.

Sebenarnya, blog ini sudah lama saya buat. Dari beberapa artikel yang sudah saya published di blog ini, yang kesemuanya alay :D, dibuat pada tahun 2009. Which means it made when I was in the first year of college. No wonder ya kalau tulisannya agak (sangat) kacau dan alay. Maafkan saya ya Tuhan atas kekacauan tulisan-tulisan tersebut.

Sejak 2009 itu, saya tidak pernah lagi mem-posting artikel apa pun di blog ini. Bukan karena ga punya bahan untuk di-post-kan, tapi karena saya lupa password dan lupa juga pernah punya blog ini. Hahaha :D

Saya akhirnya lebih sering nulis artikel di Tumblr (yang sejatinya lebih untuk blog-foto), yang menurut saya lebih menarik. Tapi, kayanya Tumblr kurang cocok kalau untuk artikel-artikel yang terlalu panjang. Dan saya pun memutuskan untuk kembali menggunakan Blogspot. And by the time I wanted to create new account using my gmail account, et voila, I was connected to this old blog. So I decided to copy-paste what I have published on my Tumblr, here. Biar blog ini rame dan apa yang sudah saya tulis ga mubazir gitu nganggur di Tumblr.

So, herewith I present my (life) journey to all of you. Hope you really enjoy it.

Best regards,

Urfi Setiawan Fudhaili.