"Di Makassar, aku dianggap orang Padang. Di Padang aku dianggap orang Makassar."
Kira-kira seperti itu lah isi dialog dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang dibintangi oleh Herjunot Ali dan Pevita Pearce.
Saya pun demikian, sebagai seorang Pujasuma (Putra Jawa - Sumatera), saya sering mengalami saat-saat demikian. Ayah saya adalah orang Banten asli, sedangkan ibu saya adalah keturunan Melayu. Kakek ibu saya adalah orang Siak Riau yang kemudian merantau ke Muara Rupit, Sumatera Selatan.
Sewaktu kecil, ketika saya masih tinggal di Sumatera, orang-orang di kampung ibu bahkan keluarga saya sering memanggil saya orang Jawa karena kulit sawo matang, tidak seperti kulit orang-orang yang cenderung putih. Saya memang mirip dengan kakek dari pihak ayah yang orang Banten asli. Pada waktu kecil, saya sering marah kalau orang memanggil saya Jawa. Kelas 4 SD, saya pindah ke Kota Cilegon, sebelum akhirnya pindah lagi ke Kota Serang, Banten. Memasuki SMP, teman-teman sering bilang saya orang Palembang (padahal Palembang - Lubuk Linggau, kota terdekat dari desa ibu saya, sekitar 10 jam perjalanan darat. Jauh) karena aksen Sumatera saya yang belum bisa hilang pada waktu itu.
Ketika kuliah, dan merantau ke Depok, saya dibilang memiliki perawakan khas Sumatera karena bentuk rahang saya. Sekarang saya baru sadar (dan menerima dengan lapang dada), bahwa saya memiliki wajah Sumatera tapi warna kulit Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar