Minggu, 22 Februari 2015

Captain Phillips

I first knew Tom Hanks from his Cast Away. It was, maybe, more than a decade ago, when I was at elementary.

Selasa, 10 Februari 2015

Movie Review: Miracle In Cell No. 7

[Spoiler Alert]
Menurut saya, film Korea (bukan drama Korea) mempunyai kualitas cerita yang sangat bagus. Hampir setiap menonton film Korea, seperti My Father, A moment to Remember, dan lain sebagainya, saya selalu meneteskan air mata. Film Korea yang saya tonton terakhir adalah Miracle in Cell No. 7, yang tentu saja sukses membuat saya menangis sepanjang film.

Film ini bercerita tentang seorang ayah, bernama Lee Yong-go yang mengalami gangguan mental, bersama anak perempuannya yang masih kecil namun sangat jenius, bernama Ye-sun. Walaupun mempunyai kekurangan, Yong-go tetap berusaha keras menghidupkan anaknya secara layak dengan bekerja sebagai juru parkir. Walaupun hidup sederhana, mereka berdua sangat bahagia. Namun, kebahagian tersebut seketika sirna ketika Yong-go dihadapkan pada tuduhan hendak mencabuli dan membunuh anak seorang komisaris polisi. Yong-go, yang sakit mental, tidak dapat membela diri dan akhirnya dijebloskan ke penjara dan dimasukkan ke sel no 7. Sel tempat para penjahat kelas kakap. Di dalam sel tersebut telah diisi oleh beberapa tahanan dengan berbagai latar belakang.

Mengetahui cerita Yong-go, teman-teman barunya di sel berusaha untuk membantu Yong-go bertemu dengan anaknya. Ye-sun, yang akhirnya tinggal di panti asuhan, bersama dengan anak-anak lainnya dari panti menjadi anggota paduan suara anak-anak gereja yang mengisi acara mingguan di tahanan. Ketika sedang mengisi acara di penjara ini lah, dengan dimasukkan kedalam kardus, Ye-sun yang cerdas dan mampu diajak kerjasama sehingga akhirnya bisa bertemu dengan ayahnya di dalam sel. Cerita terus berlanjut dengan cerita bagaimana para teman-teman Yong-go berusaha menyembunyikan Ye-sun di dalam sel agar tida ketahuan oleh petugas. Hingga pada suatu hari Yong-go diputuskan bersalah oleh hakim dan divonis hukuman mati.

Cerita tidak berakhir begitu saja ketika Yong-go meninggal dihukum mati. Ye-sun, yang akhirnya dirawat oleh kepala sipir, belajar hukum dan menjadi pengacara. Ketika sudah besar, ia berusaha kembali membuka sidang atas nama ayahnya, untuk membuktikan bahwa ayahnya tidak bersalah. Usahanya tidak sia-sia. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa Yong-go tidak bersalah. Walaupun ayahnya telah meninggal, Ye-sun tetap puas karena telah berhasil membuktikan bahwa ayahnya tidak bersalah di mata hukum.

Jumat, 06 Februari 2015

Silsilah keluarga

Sejak kecil, Ayah selalu mengajarkan saya untuk mengenal leluhur. Bahkan saya diberitahu silsilah keluarga Ayah sampai kakek buyut yang semuanya orang Banten asli
Berbeda dengan Ibu, saya hanya tahu sampai kakek buyut pertama.

Dari pihak ayah, yang saya tahu urutannya
1. Ki Urip ( uyut uyut uyut uyut uyut)
2. Ki Said (uyut uyut uyut uyut)
3. Ki Husain (uyut uyut uyut)
4. Ki Ramidin (uyut uyut)
5. Puyang H. Affad (uyut)
6. Muhammad (kakek)
7. H. Fudaili (ayah saya)

Itu adalah urutan keturunan dari pihak ayah.

Dari pihak ibu, yang saya tahu cuma:
1. Manasal (buyut)
2. H. Latief (puyang)
3. H. Abbas (kakek)
4. Hj. Nurmala (Ibu)

Manasal adalah orang Melayu Siak, Riau, yang kemudian merantau ke daerah Muara Rupit, Sumatera Selatan. Bersama saudara-saudaranya yang bernama Manalum dan Manali. Mereka kemudian berkeluarga dengan penduduk lokal dan bernaka pinak. Keturunan ketiganya kemudian menyebar ke berbagai desa yang berada di Kabupaten Musi Rawas Utara, seperti desa Noman, Beringin, Embacang, Karang Jaya, Tanjung Agung, dan lain-lain.

Kisah Perjalanan - 4

Ingatan Raga terlempar kembali ke beberapa bulan lalu. Bulan Juli merupakan bulan yang tepat untuk menghabiskan waktu di Bali. Tempat favorit Raga untuk menginap adalah Tanjung Benoa. Jalanan mulus tidak terlalu sempit yang cukup untuk 4 lajur kendaraan. Wilayah selatan Bali yang cukup tenang. Meskipun berdiri banyak resort dan hotel di sepanjang jalurnya, wilayah Tanjung Benoa tidak sehiruk pikuk Kuta. Bahkan cenderung sepi. Raga sangat menyukai suasana Tanjung Benoa di pagi dan sore hari. Suara musik gamelan khas Bali dan warga yang berjalan membawa sesajen, selalu membuat Raga senang. Bahkan sering pula ada upacara bulan purnama di pinggir pantai.

Raga menginap di sebuah penginapan yang berada di gang kecil persis di seberang Baracuda water sport yang terkenal itu. Penginapan yang cukup sederhana namun fasilitas yang tetap memadai, bisa dibilang cukup lengkap. Pemiliknya adalah sepasang suami istri beragama islam. Raga pernah tinggal di penginapan ini sebulan lamanya. Kebanyakan yang menginap di sini adalah para pekerja asing yang bekerja di resort atau hotel yang berada di sepanjang jalan Tanjung Benoa. Tetangga kamar Raga, adalah seorang manager resort asal Thailand. Ada lagi seorang seorang perempuan cantik asal Filipina yang juga bekerja di hotel. Tidak jarang ada pula tamu asing yang menginap hanya beberapa hari, biasanya mereka adalah turis yang ingin mencoba olahraga air di Tanjung Benoa.

Krisis Identitas

"Di Makassar, aku dianggap orang Padang. Di Padang aku dianggap orang Makassar."
Kira-kira seperti itu lah isi dialog dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang dibintangi oleh Herjunot Ali dan Pevita Pearce.

Saya pun demikian, sebagai seorang Pujasuma (Putra Jawa - Sumatera), saya sering mengalami saat-saat demikian. Ayah saya adalah orang Banten asli, sedangkan ibu saya adalah keturunan Melayu. Kakek ibu saya adalah orang Siak Riau yang kemudian merantau ke Muara Rupit, Sumatera Selatan.
Sewaktu kecil, ketika saya masih tinggal di Sumatera, orang-orang di kampung ibu bahkan keluarga saya sering memanggil saya orang Jawa karena kulit sawo matang, tidak seperti kulit orang-orang yang cenderung putih. Saya memang mirip dengan kakek dari pihak ayah yang orang Banten asli. Pada waktu kecil, saya sering marah kalau orang memanggil saya Jawa. Kelas 4 SD, saya pindah ke Kota Cilegon, sebelum akhirnya pindah lagi ke Kota Serang, Banten. Memasuki SMP, teman-teman sering bilang saya orang Palembang (padahal Palembang - Lubuk Linggau, kota terdekat dari desa ibu saya, sekitar 10 jam perjalanan darat. Jauh) karena aksen Sumatera saya yang belum bisa hilang pada waktu itu.

Ketika kuliah, dan merantau ke Depok, saya dibilang memiliki perawakan khas Sumatera karena bentuk rahang saya. Sekarang saya baru sadar (dan menerima dengan lapang dada), bahwa saya memiliki wajah Sumatera tapi warna kulit Jawa.

Kisah Perjalanan - 3

"Wanna get some coffee?"
Tanya Raga akhirnya.

--------

Malam itu Raga mengantar kakaknya yang akan pergi keluar kota melalui Stasiun Gambir. Jam menunjukkan pukul 9 malam. Kereta yang akan membawa Sophia berangkat ke Jogjakarta itu berangkat pukul 1 pagi, Raga menyempatkan diri untuk menemani kakaknya. Mereka bercengkrama dan makan di sebuah restoran cepat saji yang berada di sisi utara stasiun. Pukul 10 malam, Sophia menyuruh Raga untuk segera pulang karena jam operasional commuter line yang hanya sampai pukul 12 malam. Sophia khawatir Raga tidak bisa pulang kalau menunggu hingga ia berangkat. Meski awalnya Raga bersikukuh untuk menunggu hingga kakak perempuannya itu berangkat, dan ia akan pulang dengan menggunakan taksi, namun Sophia menolak usulan Raga. Ia tetap khawatir karena naik taksi pun belum tentu aman disebabkan oleh modus kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini di dalam taksi. Raga akhirnya menurut.

Untuk naik KRL Jabodetabek, Raga tidak bisa naik dari Stasiun Gambir karena KRL tidak berhenti di stasiun tersebut. Stasiun KRL terdekat dari Gambir adalah Stasiun Juanda di utara dan Gondangdia di selatan. Ia memilih naik dari Juanda karena aksesnya lebih mudah terutama karena banyak ojek.
Sudah malam begini, KRL belum juga sepi. Gumam Raga. Ya, KRL di hari kerja memang selalu ramai bahkan hingga tengah malam. Ketika sedang menunggu, Raga dikejutkan dengan sesosok mahluk yang tiba-tiba berdiri persis di sampingnya. Mahluk tersebut adalah Gani. Sahabat Raga, dulu. Terakhir kali mereka bertemu sekitar enam bulan yang lalu. KRL yang akan membawa mereka akhirnya datang. Gani rupanya baru saja pulang kerja. Habis lembur. Jawab Gani yang disambungnya dengan pertanyaan:
"lo sendiri abis dari mana jam segini masih di stasiun?' Raga pun menjawab "Abis nganterin kakak ke Gambir."  Jawab Raga sekenanya.
Rupanya, hingga saat ini, kebekuan di antara mereka berdua belum juga mampu mencair. Setelah saling menyapa, mereka berdua lebih banyak diam.

Di dalam gerbong kereta, Raga dan Gani tidak mendapat tempat duduk, dan mereka pun masih lebih banyak diam. Raga tidak berusaha untuk membuka obrolan, begitu pula Gani. Raga turun dua stasiun sebelum Gani turun. Beberapa stasiun lagi, Raga akan turun.

"Wanna get some coffee?"  tanya Raga akhirnya.
"Right now? Udah kemaleman Ga, gua."
"Ayolah, udah lama nih ga ketemu dan ngobrol-ngobrol?"
"Gimana kalo besok Jumat aja. Malem abis gue kerja, kita ketemu?"
"Oke. Ntar kontak via whatsapp aja."


------

Sesampainya di apartemen miliknya, Raga langsung membersihkan diri di kamar mandi. Selesai mandi, Raga langsung bersiap-siap tidur dan mematikan lampu. Namun, rupanya Raga tidak bisa tidur. Ia terus menatap ke luar jendela yang dibiarkannya terbuka tanpa gorden. Tampak cahaya lampu dari gedung apartemen sebelah. Bukan hanya kerlip lampu yang mendistraksi Raga. Tapi, pertemuannya dengan Gani malam ini, terus membuat Raga teringat akan kejadian beberapa tahun lalu. Tepat tiga tahun setelah konflik yang terjadi di antara mereka, sejak saat itu hubungan persahabatan mereka tidak lagi sama. 
Malam ini, Raga terus berusaha mengurai jalinan benang kusut hubungannya dengan Gani. Raga tidak pernah tahu apa yang menyebabkan Gani tiba-tiba seolah membencinya dan menjauh. Diurainya secara perlahan kekusutan tersebut, namun tak juga ia temukan simpul yang mampu menguak akar konflik tersebut. Yang Raga ingat, beberapa bulan setelah ia putus dengan Sekar, ia masih berhubungan baik dengan keduanya. Hingga suatu hari, Gani yang adalah sahabat Sekar dan Raga, berkumpul dalam acara reuni organisasi kampus di sebuah kafe di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Gani tiba-tiba berubah. Sebelum-sebelumnya, Raga dan Gani selalu berpelukan ketika bertemu. Namun, kali ini Gani berubah menjadi begitu ketus terhadap Raga sepanjang pertemuan tersebut. Mereka hanya bersalaman. Raga pun tidak dapat menyembunyikan kekesalannya atas sikap Gani tersebut. Sekar berusaha mencairkan suasana, namun tidak juga berhasil meredam perang urat syaraf diantara dua sahabat tersebut. Raga menjadi lebih banyak diam. Bahkan ketika teman-temannya yang lain sudah datang dan berbincang, Raga diam mematung tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga akhirnya Gani menyerang Raga dengan kata-kata yang membuat Raga sakit hati:
"Diem mulu lo dari tadi, udah kaya orang bisu aja." Dengan sinis Gani menatap Raga.
Raga yang sudah tidak tahan dengan perlakuan Gani, akhirnya memilih pulang dengan berpamitan kepada Sekar.

Puncak sakit hati Raga terhadap Gani adalah ketika secara tidak sengaja ia membaca percakapan Gani dan Sekar di sebuah media sosial. Hal itu terjadi beberapa bulan setelah kejadian di cafe tersebut, Raga akhirnya jadian dengan Rena. Dalam percakapan tersebut, Gani mengumpat Raga yang sudah memiliki kekasih, padahal baru enam bulan putus dari Sekar. Sejak saat itu, Raga tidak mau lagi bertemu dengan Gani dan Sekar. Bahkan dalam acara reuni organisasi kampus sekalipun. Raga memilih untuk tidak datang. Bagi Raga, hubungannya dengan Sekar sudah berakhir jauh sebelum ia memutuskan untuk bersama dengan Rena. Bagi Raga pula, tidak ada di dalam kamusnya untuk balikan dengan mantan. Menjadi sahabat mungkin, tapi untuk kembali menjalin hubungan sebagai kekasih, adalah hal yang 'haram' bagi Raga. Menurut Raga, Gani tidak berhak untuk mencampuri urusannya dengan Sekar. Toh yang memutuskan hubungan adalah Sekar. Sebagai sahabat, Raga tidak meminta
dibela oleh Gani, tapi paling tidak Gani tidak usah berpihak dan malah memusuhinya. Itu yang selalu dipikirkan oleh Raga.

Enam bulan yang lalu, Raga akhirnya mau ikut berkumpul dalam acara reuni organisasi kampus sebuah kafe. Di sana, ia bertemu dengan Gani dan Sekar. Raga sudah memaafkan Gani. Begitu pula Gani. Namun, terjadi kekikukan dan kebekuan di antara mereka. Seperti masih ada sekat pembatas yang menghalangi mereka untuk dapat kembali seperti dahulu. Sekat yang sampai saat ini Raga tak tahu apa. Dalam pertemuan tersebut, tidak ada percakapan intens antara Raga dan Gani. Hanya percakapan sekedarnya.

Raga selalu menunggu momen yang pas untuk menyelesaikan masalah yang ada di antara mereka berdua. Momen yang sampai saat ini belum ia temukan. Bagi Raga, kebekuan hubungannya dengan Gani tidak akan pernah hilang jika tidak diselesaikan dan ditanyakan akar masalahnya. Raga berharap, pertemuannya esok dengan Gani mampu menyelesaikan masalah. Tidak peduli hubungannya nanti dengan Gani akan mencair atau malah semakin menjauh, yang Raga inginkan adalah ia tahu penyebab masalah tersebut.

Kamis, 05 Februari 2015

Earth Hour 60+

Pada hari minggu lalu, pertama kalinya saya ikut gathering volunteer komunitas Earth Hour Kota Depok di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Apa sih Earth Hour itu? Dan apa tujuannya? Berikut penjelasannya secara singkat.

Apa itu Earth Hour 60+? Berdasarkan penjelasan dari situs resmi earthhour.org, bahwa Earth Hour adalah sebuah gerakan akar rumput di seluruh dunia yang bertujuan untuk melindungi planet bumi, yang diselenggarakan oleh WWF, terutama dalam menghadapi berbagai ancaman terhadap lingkungan. Earth Hour pertama kali muncul pada tahun 2007 ketika Kota Sidney, Australia dengan cara mematikan lampu selama satu jam. Gerakan ini kemudian menyebar dan terus berkembang hingga lebih dari 7000 kota di seluruh dunia melakukan hal serupa. Peristiwa di Sidney ini lah yang menjadi pemicu munculnya gerakan yang lebih besar di seluruh dunia. Untuk tahun ini, puncak dari perayaan Earth Hour sendiri adalah dengan mematikan lampu pada pukul 20:30 - 21:30 waktu setempat pada tanggal 28 Maret 2015.

Earth Hour saat ini tidak lagi hanya sebagai gerakan mematikan lampu, tetapi juga gerakan untuk peduli lingkungan. Seperti penggunaan botol plastik, penghematan energi tak terbarukan, pengelolaan sampah, dan lain sebagainya. Untuk kegiatan Komunitas Earth Hour - Depok sendiri adalah dengan ikut berperan aktif dalam kegiatan cinta lingkungan, seperti ikut hari Jum'at Bersih yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Depok. Selain itu, komunitas ini juga aktif dalam kegiatan penyuluhan masalah-masalah lingkungan dengan cara melakukan penyuluhan kepada siswa-siswa mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Para volunteer sendiri dibagi per kecamatan, karena saya tinggal di Margonda Raya, maka saya ikut menjadi volunteer Kecamatan Beji. Sebelum melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah, komunitas ini aktif berkumpul untuk membahas apa saja yang akan dilakukan di sekolah-sekolah di kecamatannya masing-masing. Untuk ikut gerakan ini sendiri tidak perlu menjadi warga Depok, bahkan beberapa volunteer ada yang berasal dari Bekasi, Bogor, Jakarta.