Senin, 22 April 2019

Review Asal-asal : Bumi Manusia (Spoiler Alert)

Kali ini, gue mau review buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Review ini merupakan review bebas, menurut apa yang  gue  tangkap saat membaca buku tsb.

Jadi, di tahun 2019 ini, gue punya resolusi untuk baca buku, minimal satu bulan satu judul buku harus dibaca. Dan buku Bumi Manusia ini adalah buku ketiga yang  gue baca. Yeah, meleset dari resolusi. Harusnya di bulan April ini udah buku keempat. Tapi gapapa.

Oiya, buku pertama yang gue baca di tahun 2019 adalah buku Colorless Tsukuru Tazaki karya Haruki Murakami, dan Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad: Dari Kelahiran  Hingga Detik-detik Terakhir  karya Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfuri. I'll review those books next time.

Pramoedya Ananta Toer

Namanya ga asing  bagi gue, atau sebagian besar dari kita. Waktu kecil, gue sering denger nama dia. Lebih tepatnya tentang pelarangan atas karya-karyanya. Salah satu buku yang paling gue kenal adalah Bumi Manusia ini. Pertama kali terbit tahun 1980, dan dicetak hingga 9 kali. Kemudian bukunya dilarang terbit, karena pada saat itu  juga Pram masih menjadi tahanan politik. Baru pada tahun 2005, bukunya kembali diterbitkan hingga sekarang. Buku yang  gue baca ini udah cetakan ke 21 (Maret 2019). Bumi Manusia juga udah diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia dan memenangkan banyak penghargaan. Bumi Manusia merupakan sebuah Roman Tetralogi Buru yang  terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.s

Bumi Manusia

Bumi Manusia ini  menceritakan seorang  pemuda bernama Minke. Nama pemberian dari Meneer Rooseboom kepada Minke. Berlatar waktu pada akhir abad ke 19, atau sekitar tahun 1890-an hingga 1900-an awal, atau masa ketika mulai munculnya pergerakan-pergerakan di Indonesia. Pada masa-masa itu, lahir organisasi-organisasi seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912).
Minke adalah seorang pribumi tulen. Berasal dari keluarga priyayi, membuat Minke dapat mengenyam pendidikan yang sangat layak pada masanya. Disamping Minke juga memiliki  kecerdasan yang tinggi. Bahkan dia menjadi lulusan terbaik di HBS Surabaya. Sedari kecil mengenyam pendidikan dari eropa, dengan  ilmu pengetahuan yang  didapat, membuat Minke ingin melepas diri dari kejawaannya. Dia merasa bahwa ilmu pengetahuan tersebut menjanjikan kebebasan bagi tiap individu, berbeda dengan budaya Jawa yang sangat memegang tinggi budaya, tingkat dan status sosial.

Opini

Kalau kita baca di masa sekarang buku Bumi Manusia ini, tidak ada yang "aneh" sehingga membuat buku tersebut mendapatkan pelarangan edar. Namun, jika dilihat lagi konteksnya pada tahun 1980-an, atau pada masa order baru, maka dapat diketahui kenapa alasannya.
Meski berlatar waktu sebelum kemerdekaaan, namun roman ini sebenarnya syarat akan nilai-nilai kritik Pram terhadap pemerintah saat itu. Seperti yang telah disinggung  di awal, buku ini ditulis pada saat Pram menjadi tahanan politik di masa order baru dan diasingkan di Pulau Buru, Maluku. Karena kritik-kritik tersirat tersebut, itulah kenapa buku ini dilarang peredarannya pada masa order baru.


Melalui tokoh Minke, Pram seperti ingin mengkritisi pemerintah yang menurutnya tidak berlaku adil. Pram seperti ingin menunjukkan bahwa, masa setelah penjajahan ini, tidak ada bedanya dengan masa kolonialisme. Bedanya dahulu dijajah  oleh bangsa asing, sekarang terjajah oleh bangsa sendiri.  Selain pada pemerintah, kritik  terhadap budaya dan aturan-aturan yang  memperbudak juga dilakukan oleh Pram dalam buku ini.
Banyak quotes yang menurut gue menjadi punchline dari buku ini, seperti:

"Seorang terpelajar arus berlau  adil suda sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan" - Jean Marais, Bumi Manusia, p77

"Apa guna jadi Jawa kalau hanya untuk dilanggar hak-haknya? Tal ,emherto lai loramua catatan begini sangat pribadi sifatnya? Tak pernah  gurumu mengajarkan ethika dan  hak-hak perseorangan?" Minke.

"... Menggerayangi urusan orang  lain dadn melanggar hak siapa saja? Apa kau tidak diajar peradaban baru? Peradaban modern? Mau jadi raja yang bisa bikin semau sendiri, raja-raja nenek moyangmu?"

"Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak ditempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan  pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh  kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. dan entah berpa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti, Sembah-pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini"

"Jangan  hanya ya-ya-ya. Tuan terpelajar, bukan yes-man. Kalau tidak sependapat, katakan, belum tentu kebenaran ada pada pihakku..."


"Memang di Nederland ada kebebasan yang  utuh. Di sini sama sekali tak ada. Liberal saja tidak buruk selama orang menghormati pembatasan-pembatasan dan tidak bikin onar.........Sekali orang liberal dikutuk Pemerintah - tak peduli apa salahya - kalau dia Totok, dia paling-paling diperintahkan meninggalkan Hindia. Kalau dia Indo, akibatnya lebih pahit, dia akan kehhilangan pekerjaan. Kalau Pribumi, kiraku, dia akan kehilangan kebebesannya, disekap tanpa melalui peradilan... Nah, Tuan, hati-hatilah, jangan sampai Tuan hanya kena getahnya. Negeri Tuan bukan Nederland, bukan Eropa, Hindia ini. Kalau Tuan mendapat getah ini, takkan ada seorang pun  dari kelompok liberal itu dapat atau mau menolong Tuan."  p38

"Dan, Tuan, di bawah kekuasaan raja-raja Pribumi, rakyat Tuan tidak pernah mendapat keamanan dan kesentausaan, tidak mendapat perlindungan hukum, karena memang tidak ada hukum."

"Minke, kita akan lawan. Berani kau, Nak, Nyo?"
"Kita akan berlawan, Ma, bersama-sama"
"Biarpun tanpa ahhlihukum. Kita akan jadi Pribumi pertama yag  melawan Pengadilan Putih, Nak, Nyo. Bukankah itu suatu  kehormatan juga?"

"Kita kalah, Ma," bisikku
"Kita telah melawwan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.


Lima syarat yang ada pada satria Jawa. p463

1. Wisma: Rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah, tempat satria bertolak, tempat dia kembali.
2. Wanita: Tanpa wanita, satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal.
3. Turangga: Kuda. Alat untuk membawa kau  kemana-mana: ilmu, pengetahuan, kemampuan, keterampilan kebisaan, kealian, dan akhirnya  kemajuan. Tanpa turanngga takkan jauh langkahmu, pendek penglihatanmu.
4. Kukila: Burung. Lambang keindahan, kelangenan (hobby). Segala yang tak punya hubungan dengan  penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu orang  hanya sebongkah  batu tanpa semangat.
5. Curiga: Keris. Lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk memepertahankan  keempat sebelumnya. Tanpa keris yang  empat akan ubar binasa bila mendapat gangguan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar