Chef.
(Kb). Juru masak, kepala, koki
Kata chef terlalu tinggi untuk saya. Just call me a cooker, then, amateur yet passionate cooker for more than 20 years. Meskipun cooker sendiri berarti 'panci pemasak makanan', tapi mari membuat arti baru, cooker berarti tukang masak, at least in my term.
Entah sejak kapan saya memiliki passion di bidang masak-memasak. Mungkin sejak kecil. Dulu, waktu saya masih tinggal di sebuah desa di pedalaman Sumatera Selatan, tepatnya di Musi Rawas, saya bersama teman-teman sering membuat rumah-rumahan di sebuah padang rumput yang cukup luas di pinggir sungai di desa. Di pinggir padang rumput itu terdapat sebuah pohon beringin yang ranting-rantingnya menjuntai sampai ke air sungai di bawahnya. Di sisi lain padang rumput, bersebrangan dengan pohon beringin tadi, di pinggirnya terdapat beberapa buah kandang kerbau milik salah seorang haji di desa. Kami membuat rumah-rumahan tidak jauh dari pohon beringin. Rumah-rumahan tersebut kami bangun dari ranting kayu dan daun-daunan. Kami bermain seharian dari pagi sampai petang. Sambil sesekali menunggangi kerbau yang sedang makan rumput di tengah padang rumput yang cukup luas itu. Jika sudah waktunya makan, kami akan masak dengan alat yang terlalu sederhana dan tidak sehat tentunya. Mau tahu alat yang kami gunakan sebagai wadah memasak? Kaleng bekas susu kental manis atau bekas sarden, dan tidak jarang seng entah bekas apa. Seng juga biasanya kami gunakan untuk mengiris sayuran. Sebelum berangkat, biasanya kami akan membawa perbekalan seperti beras, minyak, garam, petsin, yang biasanya saya ambil dari dapur tanpa sepengetahuan ibu. Untuk bahan lain seperti sayuran, cabai, dll, kami ambil dari kebun milik warga yang ada di sekitar padang rumput tadi. Setiap dari kami diberi tugas masing-masing, mulai dari membangun rumah dan mencari ranting, menanak nasi di dalam kaleng, mengambil bahan sayuran di kebun tanpa sepengetahuan si pemilik, ada pula yang bertugas mencari ikan kecil dengan pancing atau sauk yang terbuat dari kain bekas, serta orang yang memasak lauk. Saya biasanya kebagian tugas mencari ranting dan daun, serta menumis sayuran di atas seng. Bagaimana rasa makanannya? Bagi saya itu adalah makanan paling nikmat di dunia, walaupun terkadang beras yang dimasak gosong dan lauknya keasinan, tetapi rasanya sungguh nikmat. Apalagi jika kami berhasil menangkap ikan kecil yang kemudian kami bakar. Sebagian mikmat dunia bisa kami rasakan di lidah kami. Hanya di saat bermain ini lah saya memiliki kesempatan untuk memasak makanan yang tidak sehat namun nikmat tersebut, paling tidak nikmat di lidah saya. Bahkan sampai saat ini saya masih bisa membayangkan rasa makanannya, tapi tidak pernah lagi bisa membuat makanan dengan rasa yang sama.
Di rumah? Saya tidak pernah menyentuh alat masak bahkan kompor ibu. Di bawah sistem patriarki yang masih dipegang sangat kuat oleh masyarakat di desa, dapur adalah milik perempuan. Seorang laki-laki sepertinya 'haram' berurusan dengan dapur. Apalagi sampai ada yang memiliki hobi memasak, akan dianggap sangat tidak pantas. Oh God, I hate judgement. Berbeda dengan jaman sekarang. Semakin banyaknya chef laki-laki yang muncul di acara tv, semakin membuka mata masyarakat awam bahwa profesi sebagai tukang masak itu tidak hanya dimonopoli oleh kaum perempuan saja. Bahkan chef di hotel-hotel mayoritas adalah laki-laki.
Kelas 4 SD, kami sekeluarga pindah ke Pulau Jawa, tepatnya ke Serang - Banten. Dari SD sampai kuliah saya akhirnya bisa memasak, walaupun cuma mie atau telur mata-sapi, ketika ibu tidak di rumah dan tidak ada makanan di bawah tudung saji. Di rumah kami, sistem patriarki masih dipegang, laki-laki adalah yang harus dilayani. Walaupun tidak terlalu haram untuk menyentuh dapur karena masih boleh untuk memasak mie instan atau sekedar memasak air panas untuk kopi atau teh. Bagian masak nasi dan lauk? Masih 'haram'.
Selepas kuliah dan bekerja, saya akhirnya tidak lagi tinggal di rumah. Saya tinggal di sebuah apartemen kecil yang ada dapurnya sendiri. Et voilà, that's the most amazing part of this studio apartment: fully furnished kitchen.! Di dapur, saya mempunyai alat yang cukup lengkap untuk memasak makanan yang rumit sekalipun.
Di dapur kecil ini, saya bebas berkreasi memasak apa pun. Saya bebas memasukkan bumbu sesuka hati ke dalam makanan yang akan saya makan. Makanan yang saya buat mulai dari cookies, pasta, sampai makanan tradisional yang memakai bumbu dapur lengkap. Biasanya, saya menelpon ibu menanyakan bumbu apa saja yang harus saya gunakan untuk memasak suatu makanan, atau dengan cara berselancar di dunia maya mencari resep-resep makanan. Kemudian saya biasa berbelanja bahan makanan ke supermarket yang terletak tidak jauh dari apartemen. Bahkan, jika tidak menemukan yang saya cari di supermarket, saya pergi ke pasar tradisional yang memiliki bahan bumbu lengkap.
Ada kepuasan tersendiri ketika berhasil memasak makanan yang sulit dimasak, terutama makanan Indonesia yang sulit seperti rendang, pindang daging, kuah bakso, hingga pempek. Apalagi kebanyakan orang yang mencicipi makanan yang saya masak itu memuji. Mudah-mudahan beneran enak. Hahaha