Selasa, 25 November 2014

Penduduk Perbatasan

Saat ini, sedang heboh tentang manusia perahu yang ditahan di Kalimantan Timur. Penahanan ini pun dikaitkan dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2000-an lalu.

Lepas dari itu, sebenarnya banyak hal yg dihadapi oleh penduduk perbatasan, dalam hal ini saya ambil contoh penduduk di Pulau Liran, MBD seperti;
1) Kartu identitas
2) Ketersediaan Logistik (Makanan Kadaluwarsa)
3) Ketersediaan tenaga pengajar

Selasa, 18 November 2014

Counting Days

Time is paradoxal. Waktu kadang terasa berjalan sangat lamban. Tapi, di saat yg bersamaan waktu juga terasa berjalan begitu cepat. Ya, time is also relative.

Semiotika Gambar Jokowi Juru Masak

Hari ini, dihebohkan dengan halaman depan koran Australia menampilkan Jokowi sebagai juru masak.

Rabu, 12 November 2014

Cagar Alam Pulau Dua

Cagar alam ini berada di Provinsi Banten, tepatnya di Sawah Luhur, Banten Lama.
Cagar alam ini merupakan tempat persinggahan burung-burung yang sedang bermigrasi.

Senin, 10 November 2014

Bea dan Cukai

Selama ini saya tidak pernah tahu perbedaan antara bea dan cukai. Yang saya tahu, bea cukai itu satu kesatuan. Ternyata, bea dan cukai itu berbeda. Secara organisasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) di bawah pengawasan langsung Kementerian Keuangan. Bersama dengan beberapa dirjen lainnya, termasuk juga inspektorat dan badan-badan lain yang ada di Kementerian Keuangan.

Apa sih perbedaannya?
Secara umum, perbedaan keduanya terletak dari sisi penerimaan. Bea merupakan sebuah penerimaan dari luar negeri, seperti bea masuk (impor) dan bea keluar (ekspor). Sedangkan cukai merupakan penerimaan negara dari dalam negeri, seperti cukai hasil tembakau (rokok, cerutu, dll), etil alkohol, dan minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA).

Ya, itu lah sedikit gambaran mengenai perbedaan antara bea dan cukai :)

Sabtu, 08 November 2014

Pagelaran Wayang Orang di Taman Ismail Marzuki

Pada Jumat malam kemarin, 07 November 2014, saya mendapatkan kesempatan nonton pertunjukan wayang orang, for the first time in my life, secara langsung di Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini – Jakarta Pusat. Beberapa hari yang lalu saya diberi tahu teman saya sewaktu kuliah dulu kalau ada pertunjukan wayang orang di TIM, and it was for free that I would not miss the chance. So here’s the recap.
Pertunjukan yang diselenggarakan oleh DInas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta ini mengambil tajuk “Pagelaran Ramayana Betawi: Rama Jadi Raja”. Dari judulnya saja sudah dapat diketahui kalau pagelaran ini mengambil ceritra Ramayana tetapi dikemas dengan gaya Betawi.
Untuk dapat menyaksikan acara ini, terlebih dahulu harus registrasi melalui SMS/Whatsapp beberapa hari sebelumnya untuk mendapatkan tiket. Dan pada hari H, diwajibkan untuk registrasi ulang. Saya pun pesan 2 tiket. Pada hari H pukul 17:30 sore, saya datang ke TIM untuk registrasi ulang. Eh, nama saya tidak ada dalam list panitia di meja registrasi (padahal dari sms sudah dikonfirmasi oleh panitia). Ternyata bukan saya saja, hampir sebagian besar penonton namanya tidak tercantum. Beruntung ternyata bisa registrasi di tempat (tau gitu saya bawa orang se RT aja). Setelah mendapatkan 2 tiket, saya pun registrasi ulang di meja lain (hanya tulis nama dan tanda-tangan) dan mendapatkan Buku Program (buku panduan pertunjukan berisi tentang susunan acara, sinopsis, scene & daftar pemain, dll). Tidak berapa lama, para penonton sudah bisa masuk ke lobby Gedung Teater Jakarta. Di rundown disebut bahwa ada Gala Dinner dari pukul 18:00 – 19:00. Wah, lumayan makan gratis. Walaupun disebut gala dinner, tapi menu makanannya sangat nusantara, terutama dari Betawi. Ada bir pletok (this is my first time as well drinking this kind of ‘booze’), kerak telor, toge goreng, siomay, laksa, soto ayam, pempek, bakwan malang, mie ayam, sate, dll. Saya cobain semua satu-satu sampai begah. Acara sendiri baru dimulai pukul 19:00 – 21:00. Lagi berdiri, eh disamperin sama cowok item gede tinggi, terus dia bilang kurang lebih “hello, are you from UI? (dalam hati, lah kok tau? Stalker jangan-jangan) or from Hindu community or something? Because I think I’ve ever seen you before.” Terus saya jawab aja dari UI. “Or maybe you’re déjà vu” Terus saya berusaha mengingat kapan pernah ketemu orang ini, karena emang mukanya agak familiar. Terus saya bilang “I remember you. I’ve seen you in Margonda Residence, Depok. You live there, right?.” Terus dia jawab “Ah yup, Mares satu.” Ternyata bener dia satu apartemen sama saya. Pantes aja mukanya familiar. Waktu itu saya pernah liat dia di lobby apartemen. Terus ngobrol-ngobrol ternyata dia dari Sudan. Dan dia bilang dia vegetarian ga bisa makan daging. Pas minum bir pletok, dia bilang “this bir pletok is too strong for me”. Lah terus makan apaan bang? -.- Ga kerasa, acara sudah mau dimulai dan penonton sudah bisa masuk ke dalam ruang Teater Besar. Pisah dengan abang-abang Sudan tadi karena dia termasuk undangan VIP, perwakilan dari berbagai negara sahabat yang diundang secara khusus, yang duduknya di tengah dengan view ke panggung yang oke punya.
Acara sedikit ngaret, jam 19:30 acara baru dimulai dengan sambutan dari Wali Kota Jakarta Pusat. Setelah itu lampu teater dimatikan dan menyisakan lampu panggung saja yang masih menyala pertanda acara inti segera dimulai. Cerita dibuka dengan cukup membuat saya takjub dengan penampilan para pemain yang memegang wayang kulit berukuran besar sebagai properti cerita di panggung. Namun, setelahnya pertunjukan ini menurut saya sangat sederhana. Tidak ada latar yang merepresentasikan tempat berlangsungnya kejadian. Kalau tidak ada guide book yang dikasih oleh panitia, I definitely had no idea what was going on on the stage. Belum lagi terganggu oleh sinar layar handphone penonton yang mengambil gambar pertunjukan. Belum lagi ada yang pakai lampu flash di tengah kegelapan. Gubrakkkk. Padahal panitia sudah menghimbau kepada para penonton untuk tidak mengambil gambar ketika pertunjukan sedang berlangsung. Bukan tanpa sebab, karena hal tersebut memang SANGAT mengganggu penonton lain yang ingin serius menikmati pertunjukan. Kemudian ada pula penonton yang mengobrol di belakang. Haduh, penonton di Indonesia memang wajib di-briefing secara serius dulu sebelum menonton.
Sampai adegan Shinta diculik, menurut saya pertunjukan ini biasa aja. Tidak berbeda dengan wayang orang dari Jawa yang sering saya liat di TV. Tidak ada ciri-ciri Betawinya sama sekali. Panggungnya pun minim properti (tapi terselamatkan oleh kostum  yang dipakai para pemain). Kemudian ada pula adegan lucu para kijang-kijang (sayang properti tanduk dan topeng yang ada di atas kepala beberapa kali lepas. Tapi ini terselamatkan oleh kepiawaian para pemain yang langsung mengambil properti yang terlepas tersebut dengan sangat cerdik). Setelah Shinta diculik, baru muncul trigger yang mampu membuat saya berdecak kagum. Hanoman yang bisa terbang ke sana kemari (menggunakan sling tentunya). Dan menurut saya sang sutradara sangat pintar dalam menyajikan pertunjukan ini. sepertinya ia memang sengaja membuat pertunjukan sesederhana mungkin di awal, sehingga ketika menuju akhir cerita, penonton dapat merasakan klimaksnya. Gaya Betawi muncul ketika adegan klimaks pertempuran antara Rama dan Rahwana. Sebelum bertempur, Rama dan Rahwana saling melempar pantun, ditambah tingkah para monyet yang lucu, yang membuat suasana dalam ruang teater menjadi riuh oleh tawa penonton. Hingga akhirnya terjadi lah pertempuran yang sangat kolosal. Rama akhirnya memenangkan pertarungan. Sebelum adegan Rama diangkat menjadi Raja Ayodya, diselingi oleh pertunjukan dari Cepot, yang mengenakan baju Pitung, Dawala dan Istri Dawala yang menggunakan kostum kebaya Betawi. Pertunjukan dari ketiganya mampu membuat penonton terpingkal-pingkal, walaupun guyonan yang dibawakan sangat ‘dewasa’. Pukul 21:20, Rama akhirnya diangkat menjadi raja dan menandakan berakhirnya Pagelaran Wayang Orang Betawi.
Dengan segala kesederhanaannya, sesuai dengan yang disampaikan oleh MC ketika membuka acara, tapi saya sangat terhibur oleh akting para pemain, terutama ketika adegan-adegan menuju klimaks. Bravo!!!


Kamis, 06 November 2014

Rectoverso - Cinta Platonis

“Kisah aku, kisah aku tentang seorang sahabat aku yang lahir  di negeri orang. Dia hidup dalam keluarga yang sangat sederhana. Setiap kali ibunya harus menyediakan ayam sebagai lauk, ibunya mesti pergi ke pasar untuk membeli ayam. Tapi cuma bagian punggungnya saja. Cuma itu yang mampu ia beli. Akhirnya sahabat aku itu pun tumbuh dewasa dengan hanya mengetahui kalau ayam itu hanya punya bagian punggung. Dia ga pernah tahu ada dada, paha atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi dia mengenai ayam.
Kalau aku, aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya sanggup aku gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang hanya sanggup aku nikmati bayangannya. Tapi tak akan pernah bisa aku miliki. Seseorang yang hadir bagaikan bintang jatuh. Sekelebat lalu menghilang begitu saja. Tanpa sanggup tangan ini mengejar. Seseorang yang hanya bisa aku kirimi isyarat sehalus udara langit awan atau hujan. Tapi sekarang justru menurut aku sahabat aku itu orang yang paling bahagia. Dia bisa begitu menikmati punggung ayam karena cuma itu yang dia tahu. Sedangkan aku, aku justru orang yang paling bersedih karena aku tahu apa yang ga akan pernah bisa aku miliki.
Aku sudah tahu warna matanya. Cokelat muda. Dan itu lebih dari cukup” – Alya, Hanya Isyarat, Rectoverso (01:15:10)
Rectoverso: Cinta yang Tak Terucap, merupakan sebuah film Indonesia yang diadaptasi dari sebuah noverl dengan judul yang sama karya Dewi “Dee” Lestari (she’s one of my favorite female authors since I was in high school, beside Djenar Maesa Ayu and Oka Rusmini). Dalam film tersebut terdapat lima cerita yang ditulis dan disutradarai oleh lima orang berbeda (omnibus). Hanya Isyarat – Happy Salma, Curhat Buat Sahabat – Olga Lidya, Cicak di Dinding – Cathy Saron , Firasat – Rachel Maryam, dan Malaikat Juga Tahu – Marcella Zalianty. Seperti judulnya, film ini menggambarkan cinta yang dipendam kepada seseorang. Namun, yang paling saya suka dan ingin saya bahas di sini adalah Hanya Isyarat yang diperankan oleh Amanda Soekasah sebagai Alya, Hamish Daud sebagai Raga, dan Fauzi Baadilla sebagai Tano, serta Rangga Djoned sebagai bayu, dan Dali yang diperankan oleh Prianggadi Adityatama . Cerita ini disutradarai oleh Happy Salma dengan mengambil latar di pantai (place I love the most). Cerita ini menurut saya satu-satunya cinta platonis yang paling murni dibandingkan empat cerita lainnya. Apa itu cinta platonis? Apa bedanya dengan cinta biasa? Itu lah yang akan saya bahas pada postingan kali ini.
Setiap manusia pasti pernah merasakan jatuh cinta. Ya, cinta merupakan salah satu anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Namun, pernahkah anda mengalami yang namanya cinta diam-diam? Cinta yang hanya mampu anda pendam sendiri. Walau terkadang sakit, tapi terkadang anda menikmatinya. Ya cinta ini disebut juga dengan cinta platonis.
Sepenggal dialog dalam film Rectoverso di atas menggambarkan apa yang sering disebut dengan cinta platonis.
Kalau merujuk ke kamus, kata platonis (platonic) mempunyai beberapa arti, salah duanya adalah:
Platonic (ajd):
  • Of or associated with the Greek philosopher Plato or his ideas.
  • Confined to words, theories, or ideals, and not leading to practical action.
Kata platonis sendiri mengacu pada sebuah konsep yang pertama kali dicetuskan oleh seorang  filsuf Yunani kuno, Plato. Maybe that’s the reason why it’s called Plato-nic. Konsep ini sendiri merupakan pandangan atau gagasan Plato mengenai dunia idea, sebuah dunia ideal yang hanya ada di dalam pikiran kita saja. Karena pada kenyataannya, tidak ada satu hal pun di dunia realitas ini yang sempurna atau ideal.
Bagi Plato, cinta tak seharusnya diucapkan. Ketika hal tersebut diwujudkan ke dalam dunia realitas, maka hal tersebut bukan lagi cinta sejati yang murni dan suci. Bagi Plato, cinta dalam diam adalah prinsip utama sebuah cinta suci. Kalau diungkapkan, itu bukan cinta lagi, namun hanya sebuah hasrat.
Lalu apa bedanya dengan cinta ‘biasa’?
Cinta menurut Sigmun Freud, pakar psikologi analitik dari Jerman, menyatakan bahwa cinta merupakan suatu alat untuk memenuhi kebutuhan seksual. Sedangkan menurut Erich Fromm, seorang Neo-Freudian, yang mengatakan  bahwa cinta adalah suatu kebutuhan dasar manusia untuk keluar dari kesepian dan kesendirian.
Hal ini tentu berbeda dengan cinta platonis. Cinta platonis memendam sendiri perasaannya tanpa diketahui orang lain. Cinta platonis ini, kalau bisa dibilang, lebih banyak sedihnya dibandingkan dengan bahagianya. Ya, namanya juga cinta dipendam.
Ada banyak alasan mengapa seseorang bisa mengalami yang namanya cinta platonis ini. Alasan yang paling utama adalah karena takut. Takut ketika diungkapkan, hasilnya tidak sesuai harapan. Karena cinta yang selalu dibayangkan itu adalah sesuatu hal yang ideal, walaupun kadang menyakitkan karena hanya bisa membayangkan untuk bersama orang yang dicintai tersebut tanpa ada yang tahu.
Nah kembali lagi ke Rectoverso. Mengapa saya berani bilang kalau cerita Hanya Isyarat merupakan yang paling platonis menurut teori cinta platonis yang telah dijelaskan di atas (untuk lebih jelasnya, anda harus menonton sendiri)
Penulis sendiri pernah merasakan cinta platonis ini. and I think everybody does,at least once in their life.