Kamis, 30 Oktober 2014

Isu agama

Masih mengenai isu-isu agama yang sering menjadi bulan-bulanan oknum tertentu, terutama di media sosial (karena beraninya memang cuma di situ).
Akhir-akhir ini sering sekali melihat tautan-tautan atau postingan-postingan di media sosial, yang entah beritanya mengenai apa, tapi ujung-ujungnya malah nyinyir dan menyindiri (atau bahkan terang-terangan) mengenai agama-agama tertentu, dalam hal ini diakui atau tidak, yang sering dinyinyirin adalah agama Islam.
Partai ini korupsi, anggotanya menonton video tak senonoh, padahal katanya menjunjung tinggi nilai islam. Bapak ini korupsi, padahal dari partai islam. Si ibu itu korupsi, padahal pakai jilbab.
Orang-orang picik nan nyinyir kaya gini ini sekarang  sangat banyak. Orang-orang yang berpikiran sempit yang selalu mengaitkan suatu hal, dalam hal ini hal-hal buruk, ke suatu agama tertentu.
Orang-orang picik ini lupa, bukan agama yang salah. Memang tak bisa dipungkiri ada banyak oknum-oknum yang selalu menyelewengkan nilai-nilai agama, namun sekali lagi, bukan agamanya yang salah.
Apakah benar bahwa tindakan korupsi, tindak asusila dan tindakan buruk lainnya identic dengan agama tertentu?
Orang-orang picik ini lupa, hanya melihat lingkup yang kecil. 
Ga usah jauh-jauh, di ujung timur negeri ini, daerah yang selalu tertinggal, ada kucuran dana untuk membangun daerah (walau sedikit dananya), tapi diselewengkan. Dana sedikit, dikorupsi pula. Habis sudah. Oknum yang melakukan agamanya apa?
Orang-orang picik, berpikiran sempit nan nyiyir ini lupa, di Filipina, pernah terjadi tindak korupsi besar-besaran dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Presiden Ferdinand Marcos yang berkuasa sejak tahun 1965 - 1986, itu agamanya apa?
Atau yang dilakukan oleh Slobodan Milosevic, dari Yugoslavia yang berkuasa sejak 1997 – 2000, yang tidak hanya melakukan tindak pidana korupsi, tetapi juga didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas keterlibatannya dalam kejahatan perang seperti Genosida dan kejahatan kemanusiaan lainnya dalam perang di Bosnia, Kroasia, dan Kosovo. Agama Slobodan Milosevic apa? Islam kah?
Atau tindakan pembunuhan dan pengusiran terhadap etnis Rohingya di Myanmar yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar, agama apa yang mereka anut?
Orang-orang picik nan nyinyir ini lupa, yang menyebabkan seseorang korupsi itu bukan agama, tapi memang tabiat pribadi oknum tersebut yang memang doyan menafkahi anak, istri dan keluarga dengan uang haram.
Orang-orang picik, berpikiran sempit nan nyinyir ini lupa, bahwa di Eropa zaman dahulu, terjadi penyalahgunaan wewenang gereja oleh oknum-oknum rohaniwan, yang mengakibatkan munculnya gerakan protes terhadap kaum gereja (dalam hal ini Katholik), sehingga muncul Protestan. Apakah penyalahgunaan tersebut disebabkan oleh salah agama?
Orang-orang picik, berpikiran sempit nan nyinyir ini lupa, bahwa yang salah bukan agama, tapi oknum-oknum yang melakukan penyelewengan terhadap agama.
Di India sana, yang mayoritas beragama hindu, yang melakukan pembunuhan, pemerkosaan biadab terhadap perempuan, bahkan turis asing, adalah orang-orang India yang beragama Hindu. Apakah orang-orang lantas menyalahkan agama Hindu? Tidak.
Orang-orang picik, berpikiran sempit nan nyinyir ini lupa, bahwa hal tersebut konsekuensi dari suatu hal yang menjadi mayoritas. Ketika mayoritas di suatu negara beragama islam, maka yang banyak melakukan penyelewengan pasti yang beragama islam. Pun ketika suatu negara dengan mayoritas beragama Kristen, pasti yang banyak melakukan penyelewengan  adalah orang-orang dari agama Kristen. Begitu pula dengan agama lainnya, Hindu, Budha, bahkan Atheis sekalipun. Di sini terlihat jelas bahwa yang salah adalah oknum yang menyelewengkan agama, bukan agama itu sendiri.

Masih banyak lagi contoh-contoh lain.

Oh Ibu Susi

Ibu Susi, Sang Menteri “kontroversial”
Dari kemaren juga bingung sih, yang dikritisi ‘kan merokoknya Bu Susi di depan publik (dan tatonya), bukan masalah agama Bu Susi. Tapi yg jadi bahan perbandingan ujung-ujungnya nyerempet ke masalah agama (malah cenderung memojokkan dan menjelekkan salah satu agama, as always, dengan menggunakan oknum-oknum tertentu). Apa ini bukan SARA namanya? Coba kalau yang dijadikan bahan perbandingan (bahkan dijelek-jelekkan) adalah agama lain, pasti bakal jadi heboh karena isu SARA. Jadi ada 2 standard suatu hal bisa menjadi SARA atau tidak di sini.

Jad inget sebuah “joke” di Barat sana. Ketika oran-orang2 melakukan lelucon terhadap orang-orang kulit hitam, pasti dibilang rasis. Tapi ketika orang-orang bikin lelucon tentang orang kulit putih, ya hal tsb dianggap sebagai lelucon murni. Ada perbedaan (double standard) mengenai rasis di sini. Yang seharusnya memakai standard yang sama.

Saya suka Bu Susi. Bahkan jauh sebelum beliau diangkat jadi menteri. Bahkan sebelum beliau terkenal dengan “aksi sosial” beliau melalui Susi Air, perusahaan penerbangan yang beliau rintis untuk mengjangkau daerah-daerah terpencil. Saya ingat, waktu saya SD atau mungkin awal SMP sekitar tahun 2002/2003, sebuah acara di tv swasta meliput profil Bu Susi sebagai pengusaha di bidang perikanan yang sukses. Jatuh bangun beliau dalam merintis usahanya dari nol sampai bisa sesukses saat itu. Sosok beliau yang seorang wanita, seorang ibu yang pekerja keras, membuat saya mengagumi sosok Bu Susi.

Saya kagum dengan beliau. Walau hanya lulusan SMP, tapi bisa sesukses sekarang (bahkan sangat sukses). Bayangkan kalau Bu Susi adalah seorang yang berpendidikan tinggi dengan berbagai gelar akademik disandang? Bisa-bisa jadi presiden.

Kembali ke topik yang membuat heboh publik tanah air, terutama di media sosial akhir-akhir ini (timeline fb menjadi arena “pertarungan” antara yang pro dan kontra Bu Susi, tapi yang paling menjijikkan bagi saya adalah orang-orang  yang akhirnya berujung pada menjelek-jelekkan agama. Untung teman-teman di Path saya adem ayem ga ada yg bahas masalah beginian). Urusan merokok (atau bahkan bertato, kawin cerai, atau apa lah itu) adalah urusan Bu Susi (dan menjadi tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan Tuhannya). Akan tetapi, ketika ia melakukan hal tersebut di depan publik, tentu hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Di negara-negara Barat yang super bebas pun tidak membenarkan seorang pejabat publik merokok di depan umum, apalagi sampai terliput oleh kamera pewarta. Apalagi beliau adalah seorang menteri yang seharusnya menjadi panutan.
Mungkin, kalau Bu Susi yang sedang merokok tidak tertangkap kamera wartawan dan tidak diliput, tentu tidak akan seheboh sekarang ini. Yang saya tahu (dari berbagai sumber berita), Bu Susi merokok ketika acara pelantikan menteri telah selesai dilaksanakan. Dan hal tersebut dilakukan di lingkup yang sifatnya lebih “privat” (karena yang ada di Istana saat itu toh orang-orang tertentu dan mayoritas sudah dewasa yang mempunyai akal). Tetapi ketika hal tersebut diliput oleh wartawan dan disiarkan, tentu hal ini sudah menjadi ranah publik. Seharusnya Bu Susi sadar masih berada di wilayah dimana semua mata tertuju padanya. Seharusnya Bu Susi lebih bisa menahan diri untuk tidak dulu merokok. Pun oknum wartawan yang “iseng” tersebut harusnya bisa memilah dan memilih mana hal-hal yag layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Kecuali wartawan tersebut memang selalu buntu ide untuk mencari bahan pemberitaan yang lebih positif nan menarik.

Terlepas dari itu semua, semoga orang-orang bisa lebih bijak dalam menanggapi sebuah isu, lebih cerdas dalam membandingkan suatu hal. Bukan malah menjelek-jelekkan agama tertentu (padahal isunya bukan isu agama). Parameter yang digunakan setidaknya harus sebanding.

Sekali lagi, ini tulisan yang bersifat subjektif, menurut pendapat pribadi saya.

-Selamat bekerja Bu Susi

Senin, 13 Oktober 2014

City Tour Part 1 - Jakarta


Jakarta, sebagai kota yang menjadi pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan bisnis, pusat kebudayaan, serta pusat segala pusat Indonesia, ternyata juga menyimpan potensi wisata yang cukup besar. Banyak sekali tempat-tempat di Jakarta yang bisa dikunjungi, mulai dari Kepulauan Seribu di Utara Jakarta, hingga Ragunan di Selatan-nya, Kota Tua di Barat Jakarta hingga Taman Mini di Timurnya. Dan kali ini saya akan menceritakan perjalanan saya (lebih tepatnya kunjungan) ke beberapa tempat di Jakarta.

Sebenarnya kunjungan ini saya lakukan secara mendadak. Pada Jumat malam tanggal 10 Oktober 2014, saya membaca salah satu artikel di Hipwee (http://hipwee.com) yang membahas tentang tempat-tempat yang wajib dikunjungi di Jakarta. Tak disangka hal tersebut benar-benar menginspirasi saya untuk berwisata di ke beberapa tempat di Jakarta. Saya segera membuat sendiri daftar tempat-tempat yang akan saya kunjungi di Jakarta selama tahun 2014, we’ll see how many places I could visit this year.

Keesokan hari, tepatnya pada tanggal 11 Oktober, saya bangun subuh dan menunaikan kewajiban. Kemudian tepat pukul 05:00 saya jogging mengelilingi Kampus UI. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk dapat mengelilingi Kampus UI dengan rute mulai dari FH – Balairung – FKM – FMIPA, Pusgiwa, FT – FE – FISIP – Fpsiko – FH. Jam 06:15 pagi saya sudah kembali ke apartemen.
Setelah sarapan dan mandi pagi, saya pun siap-siap berangkat. Rencana awal, tempat yang akan saya kunjungi hari ini adalah Monas dan Kota Tua. Saya menggunakan moda transportasi umum Commuter Line (Kereta Rel Listrik) karena merupakan satu-satunya transportasi yang paling efisien di Jakarta dalam hal waktu. Karena hari ini hari sabtu, dimana masyarakat penglaju (baca: warga Depok hingga Bogor yang bekerja/melakukan berbagai kegiatan di Jakarta) libur, sehingga CL tidak terlalu penuh. Walaupun saya tetap tidak dapat tempat duduk, tapi bagi saya CL ini tetap jauh lebih nyaman dibandingkan kondisi pada hari kerja. Saya yang bekerja di Jakarta dan sehari-harinya menggunakan jasa CL ini, sudah terbiasa berdesak-desakan, hingga tergencet, bahkan pernah hampir pingsan dan akhirnya memilih turun dari kereta dan akhirnya pulang tidak kerja. Tetapi menurut saya makin ke sini kondisi CL, dengan perbaikan di-sana-sini, sudah semakin baik walaupun masih jauh dari kata sempurna.

Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Monumen Nasional. Untuk mencapai tempat yang paling terkenal di Jakarta ini dengan menggunakan Commuter Line. Karena Stasiun Gambir tidak lagi digunakan sebagai tempat pemberhentian CL, maka harus turun di Stasiun terdekat dari Monas, yaitu Stasiun Juanda atau Stasiun Gondangdia. Jarak antara Stasiun Juanda – Monas dan Stasiun Gondangdia – Monas adalah hampir sama. Dengan berbagai pertimbangan, salah satunya adalah mau mampir di Masjid Istiqlal, saya memilih untuk turun di Stasiun Juanda. Sesampainya di Stasiun Juanda, saya terlebih dahulu mampir di minimarket yang ada di lantai dasar stasiun untuk membeli makanan dan minuman untuk bekal selama menjadi turis sehari ini. Keluar dari stasiun, banyak alternatif angkutan yang dapat digunakan untuk menuju ke Monas, mulai dari ojek, bajaj, hingga busway (dengan terlebih dahulu transit di Halte Harmoni). Saya lebih memilih jalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh. Untuk menuju ke Monas, kita tinggal menyusuri Jalan Veteran. Lebih mudahnya dengan mengikuti arah jalur rel kereta. Jalanan lumayan teduh karena cahaya matahari terhalang oleh jalur rel yang berada di atas (jalur layang). Selain itu, saya menggunakan kesempatan ini untuk mengambil gambar bangunan-bangunan iconic di Jakarta, seperti Masjid Istiqlal dan deretan bangunan tua berisi kedai-kedai yang ada di sepanjang jalan menuju Monas, salah satunya adalah Kedai Ragusa yang berada di Jl. Veteran. Awalnya, saya berencana untuk mampir terlebih dahulu di Ragusa, kedai es krim Italia yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1932. Namun, karena masih pagi, kedainya belum buka. Saya pun melanjutkan perjalanan dan tak berapa lama sampai di depan lapangan Monas.



Saya sebenarnya sudah beberapa kali ke Monas. Tapi, selama hampir 6 tahun saya merantau dan tinggal di Depok, saya belum pernah sekali pun naik ke puncak Monas. Dan kali ini saya bertekat untuk naik sampai puncak. Terdapat dua pintu masuk untuk masuk ke halaman Monas, di Utara dan Selatan. Saya masuk melalui Pintu Utara. Setelah berhasil masuk halaman Monas, saya langsung menuju pintu masuk yang berada di seberang tugu (bukan di pagar tugu). Jadi, untuk masuk ke dalam tugu harus melewati terowongan bawah tanah melalui sebuah taman yang ada tulisan Tugu Monumen Nasional. Tiket masuk ke dalam Monas berkisar antara Rp. 3ribu – 15ribu (bergantung pada usia: anak-anak, pelajar/mahasiswa, dan orang dewasa). Karena saya masih mempunyai kartu mahasiswa, saya pun akhirnya memanfaatkan kartu tersebut untuk mendapat tiket dengan harga mahasiswa, yakni Rp. 8ribu. Tiket untuk masuk ke Tugu Monas ini terbagi menjadi dua, yaitu tiket museum dan tiket naik ke puncak. Namun, jika anda membeli tiket naik ke puncak, anda tidak perlu lagi membeli tiket masuk museum karena sudah termasuk. Untuk naik ke tugu, pengunjung dibagi ke dalam beberapa kelompok waktu tergantung pada warna gelang yang dipakai (diberi ketika membeli tiket). Jadi, semakin pagi anda datang, semakin cepat untuk bisa naik ke puncak. Saya kebagian naik pukul 10-11. Saya masih mempunyai waktu 1 jam untuk berkeliling melihat museum yang berisi diorama perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Saya cukup takjub melihat dioram-diorama ini. Setelah puas berkeliling, saya pun memutuskan untuk naik ke puncak dan tak disangka, antrian sudah mengular. Panas terik matahari tidak menyurutkan langkah untuk naik ke Puncak. Setelah hampir satu jam antri untuk naik lift, saya akhirnya berhasil naik ke Puncak Monas untuk pertama kali dalam hidup saya *lebay*. Sampai di atas, eng ing eng, biasa aja. Pemandangan Jakarta tidak terlalu keliatan karena kabut asap kendaraan bermotor. Jakarta keliatan panas dan gersang, apalagi lapangan Monas. Masih jauh lebih bagus kalau melihat pemandangan Jakarta dari kantor di lantai 44 Wisma BNI 46 Sudirman *sombong*. Tidak lama saya berada di atas Monas, setelah mengambil beberapa gambar, saya pun kembali antri untuk turun.

Pemandangan Dari Puncak Monas
Jam menunjukkan pukul 1:30,  saya bergegas menuju pintu keluar Lapangan Monas yang berada di Utara. Bermodalkan Google Maps, saya mencari letak Museum Gajah (Museum Nasional Indonesia). Ternyata letaknya ada di Jl. Medan Merdeka Barat dekat dengan Pintu Selatan. Terpaksa saya harus jalan memutar agak jauh. Untungnya jalan trotoar yang ada di sekitaran Monas sangat lebar sehingga nyaman untuk pejalan kaki. Tapi saya cukup senang, karena dengan jalan memutar ini saya sekaligus bisa melihat bangunan-bangunan penting seperti Gd. Mahkamah Agung, Istana Negara (Istana Merdeka), Mahkamah Konstitusi, dan beberapa gedung kementerian yang sederet dengan Museum Gajah (Nasional). Letak museum berada di seberang Monas. Walaupun jalannya sangat lebar, namun untuk menyebrang jalan cukup mudah karena ada lampu merah khusus pejalan kaki yang berjalan efektif (karena biasanya lampu merah pejalan kaki di Indonesia selalu diabaikan oleh pengguna kendaraan bermotor). Selain di depan Museum Gajah, lampu merah pejalan kaki yang berjalan sangat efektif yaitu yang ada di Karawaci, tepatnya di depan Kampus UPH menuju Benton Junction & Lippo Mall Karawaci (ini yang saya tahu). Saya sangat suka konsep jalan dan cafe-cafe pinggir jalan di sekitar UPH dan Lippo Karawaci ini, sangat bagus. Bersih, teduh dan nyaman. Konsepnya seperti Little Singapore. *sorry out of topic*.


Museum Gajah

Sampai di pintu masuk Museum Nasional Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai Museum Gajah, saya langsung mengambil gambar tampak depan museum dengan ikon seekor gajah. Itu lah mengapa museum ini disebut juga sebagai museum gajah. Patung gajah itu sendiri merupakan sumbangan dari Raja Thailand (Raja Chulalongkoron/Rama V) pada tahun 1871. Museum Gajah yang merupakan museum tertua di Indonesia dan Asia Tenggara ini didirikan pada tahun 1778. Harga tiket masuk museum pun sangat murah, yakni Rp. 5ribu. Museum ini sangat ramai dikunjungi pada akhir pekan. Banyak sekali anak-anak sekolah berseragam dan juga wisatawan asing. Saya sangat takjub ketika masuk ke dalam museum. Amazing. Ketika pertama kali masuk, kita akan langsung disuguhi oleh banyak koleksi arca dan prasasti yang dimiliki oleh museum. Yang paling menarik perhatian saya adalah Arca Bhairawa yang memiliki tinggi lebih dari 4 meter. Begitu melihatnya, saya langsung teringat sarkofagus yang ada di film Mumi. Arca Bhairawa ini merupakan sebuah patung seorang laki-laki yang memegang cangkir dan keris serta berdiri tegak di atas tumpukan tengkorak. Di koridor dan halaman dalam museum sepertinya memang dikhususkan sebagai tempat koleksi arca dan prasati. Kemudian di bagian belakang museum terdapat ruang koleksi perunggu dari zaman purba, model/maket rumah-rumah tradisional Indonesia dari Sabang – Merauke. Bagian pada sayap kiri gedung dikhususkan sebagai tempat koleksi keramik dari berbagai negara. Sedangkan bagian sayap kanan museum berisi berbagai koleksi budaya dari berbagai daerah di Indonesia yang dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu Papua, Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera, dll. Cukup lama saya berkeliling di dalam museum. Pukul 13:30, saya memutuskan untuk mengakhiri perjalanan saya hari ini. Ketika hendak keluar museum, saya melihat bus wisata City Tour yang dikhususkan untuk berwisata keliling beberapa tempat bersejarah di Jakarta. Namun sayang bus tersebut keburu berangkat ketika saya hendak keluar museum.
Taman Museum Gajah
Bus Tingkat City Tour

Saya pun menunggu bus wisata berikutnya. Bus wisata ini memiliki konsep bertingkat seperti bus-bus wisata yang ada di Hongkong, Inggris atau Perancis (yang saya ketahui). Bedanya, bus ini tidak memiliki atap terbuka seperti bus wisata di negara-negara tersebut di atas, melainkan tertutup layaknya bus pada umumnya. Mungkin menyesuaikan dengan kondisi Jakarta yang panas dan berdebu. Hampir 30 menit saya menunggu, akhirya bus City Tour pun datang. Ternyata peminat bus wisata ini sangat banyak, sampai tidak muat. Karena konsepnya adalah bus wisata yang memberikan kenyamanan kepada penumpang, maka penumpang tidak diizinkan untuk berdiri di dalam bus. Jadi, ketika di dalam bus semua kursi telah terisi, penumpang yang tidak kebagian disuruh turun untuk menunggu bus berikutnya. Rute bus ini adalah dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Pasar Baru melalui Jl. MH Thamrin – Medan Merdeka Barat – Juanda – Pasar Baru – Medan Merdeka Timur – Medan Merdeka Barat – MH. Thamrin. Bus wisata ini pun tidak berhenti di setiap tempat, hanya di titik-titik tertentu yang ditandai dengan rambu bertanda bus dan tulisan City Tour yang terdapat di halte Plaza Indonesia, Museum Nasional (Museum Gajah), Pecenongan, Ps. Baru, Juanda/Istiqlal, Monas 1, Monas 2, dan Sarinah. Saya pun memilih untuk duduk di kursi paling depan di tingkat ke 2 bus. Karena jendela yang besar tanpa penghalang (supir bus ada di tingkat 1), sehingga pemandangan yang disuguhkan lebih baik daripada di kursi lainnya. Selain pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang ada di sekitar Jl. MH Thamrin, kita juga disuguhkah informasi melalui rekaman audio melalui pengeras suara mengenai bangunan-bangunan bersejarah di Jakarta seperti Museum Nasional, Sekolah Santa Maria dan Santa Ursula (dua sekolah katolik tertua di Indonesia), Gedung Pos/Filateli, Pasar Baru, Gedung Kesenian Jakarta, Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, Istana Negara, Monas, Sarinah, dan terakhir penjelasan mengenai Bundaran HI (tempat paling hips di Jakarta, mulai dari sebagai tempat demo, olahraga (car free day), kampanye, sampai berfoto ria). Setelah puas berkeliling dengan bus wisata, saya memutuskan turun di halte Istiqlal dan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Ini juga pertama kali saya masuk ke dalam masjid, selama ini hanya lewat saja atau melihat suasana dalam masjid melalui siaran televisi pada waktu solat Idul Fitri atau Idul Adha. Saat masuk ke dalam masjid terbesar di Asia Tenggara ini, saya hanya bisa berdecak kagum. Masjid ini begitu besar dan nyaman. Ada rasa tersendiri ketika solat di dalam masjid ini. Masha Allah. Dari halaman masjid, tampak Gereja Katedral yang berada di seberang. Toleransi umat beragama sangat terasa di sini. Semoga Indonesia selalu damai dan terhindar dari isu SARA dan tindakan provokatif lainnya dari pihak manapun. Aamiin

Senja mulai tenggelam, saya pun berjalan menuju Stasiun Juanda yang berada tidak jauh dari Masjid Istiqlal untuk pergi ke Kota Tua. Namun, karena saya ada jadwal berenang pada malam hari, akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke Depok. Tidak terasa perjalanan saya hari ini harus berakhir. Ini merupakan perjalanan yang serba pertama bagi saya, terutama pertama kali saya jalan-jalan sendirian, ya walaupun masih berada di sekitaran Jakarta. Sambil menunggu Commuter Line, saya mengambil agenda dan membuat daftar tempat-tempat lain yang ingin saya kunjungi, terutama tempat-tempat di Jakarta dan sekitarnya. Au revoir, aventure.

Tips:
  • Selain Tugu Monas dan Museum Gajah, terdapat pula Galeri Nasional yang berada di depan Stasiun Gambir untuk dikunjungi. Biasanya selalu ada pameran-pameran seni yang bagus di sini.
  • Jangan lupa membawa bekal, terutama minuman dan makanan. Walaupun banyak pedagang di sekitar tempat-tempat wisata tersebut, tapi kita tidak pernah tau kehigienisannya. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
  • Selalu buang sempah pada tempat sampah yang telah disediakan oleh pengelola tempat wisata.
  • Enjoy your trip :)